Pilkada: Momentum Menyolidkan Masyarakat Lokal Korban Konflik Agraria
Sudut Pandang

Pilkada: Momentum Menyolidkan Masyarakat Lokal Korban Konflik Agraria

Petah.id - Mengaitkan pelaksanaan pemilu dengan masyarakat korban konflik agraria hanya akan menghasilkan sebuah ironi. Bayangkan, pada satu sisi keberadaan mereka terdata oleh Negara sebagai basis suara. Namun disisi lain, eksistensi serta hak atas tanah yang selama ini mereka tempati enggan diakui Negara. Ada banyak contoh dimana masyarakat dianggap 'penduduk illegal' karena menempati kawasan yang secara legalitas merupakan milik perusahaan. Tidak peduli bahwa kawasan tersebut sudah turun temurun mereka huni. Masyarakat bahkan sudah memiliki legalitas berupa administrasi kependudukan. Itulah mengapa ketika penyelenggaran pemilu, mereka terdaftar resmi sebagai pemilih, disediakan TPS, hingga segala macam perangkat pemungutan suara lainnya. Diluar konteks pemilu, oleh Negara, kembali mereka dicap illegal dan melanggar aturan. Miris. November 2024 mendatang, Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) bakal di gelar serentak di seluruh wilayah Indonesia. Perlakuan Negara terhadap masyarakat korban konflik agraria, sebagaimana sudah disinggung barusan, potensial terjadi lagi. Lantas apa yang bisa dilakukan? MENATAP PILKADA Belajar dari cerita Pilkada yang lalu-lalu, masyarakat lokal korban konflik agraria kenyataanya memang cuma jadi penonton. Duduk diam mendengar rayuan dan janji-janji manis para kandidat calon kepala daerah yang berniat mengekspolitasi mereka sebagai lumbung suara. Sebagian kelompok bahkan memilih masuk ke jurang pragmatisme. Menjadi relawan, tim sukses hingga bergabung dalam tim pemenangan calon kepala daerah. Motivasinya sederhana, demi meraup sejumlah rupiah. Pilihan-pilihan semacam itu memang terbuka. Sama terbukanya ketika masyarakat korban konflik agraria beserta organisasi masyarakat sipil yang mendampinginya memilih untuk menyolidkan barisan dan meningkatkan posisi tawar di hadapan para calon kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Pilkada sesungguhnya waktu paling tepat bagi para korban untuk berbalik menuntut keadilan. Sebab hanya dalam momentum ini, para elite bersedia merendahkan diri mereka. Semua sedang berebut simpati demi mengais suara sebesar-besarnya. Atas dasar itu, partisipasi politik para korban konflik agraria wajib disadari sebagai modal yang amat berharga. Samuel P Huntington mendefenisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang dirancang untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tidak jauh berbeda, Miriam Budiardjo mengartikanya sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Berbekal pengertian tadi, partisipasi politik masyarakat korban konflik agraria idealnya diterjemahkan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan mereka. Previlege semacam ini harus dipergunakan dengan selektif. Dalam konteks Pilkada, partisipasi hanya boleh digunakan untuk dan atas nama mendapatkan pemenuhan keadilan dari pemimpin daerah kedepan. Dengan begitu, partisipasi politik para korban tidak lagi sebatas datang ke TPS atau malah ‘nyungsep’ jadi tim sukses. Para korban dituntut berperan aktif sebagai subjek yang berani secara langsung menyuarakan tuntutan pemenuhan hak-hak mereka, seminimalnya untuk 5 tahun mendatang. Dalam situasi ini, masyarakat bukan lagi sekedar ‘penonton’ yang mendengar janji manis kandidat. Tetapi sebaliknya, jika ingin mendulang suara di basis-basis tersebut, para kandidat calon kepala daerah yang harus mendengar tuntutan kepentingan masyarakat. Para akademisi dan kelompok masyarakat sipil yang selama ini konsisten mendampingi kasus-kasus konflik agraria sepatutnya segera merespon hiruk pikuk Pilkada yang makin terasa. Keduanya wajib bekerja ekstra keras, menguatkan konsolidasi di basis-basis massa, sembari mencoba memanfaatkan momentum Pilkada sebagai strategi baru dalam advokasi konflik agraria. Sudah saatnya melahirkan kelompok masyarakat korban yang sadar akan posisi strategisnya sebagai pemilik kedaulatan. Menyusun gerakan kolektif dan memanfaatkan partisipasi politik semata-mata untuk merebut kembali hak mereka atas tanahnya. Gerakan yang solid bakal memberi tekanan signifikan ke para kandidat kepala daerah. Mau tidak mau, suka tidak suka, para kandidat berpeluang mengakomodir tuntutan kepentingan masyarakat. Langkah selanjutnya tinggal bagaimana para korban bersama para pendamping menyusun format perjanjian, model pemenuhan, jangka waktu tuntutan hingga jenis sanksi yang bakal diberikan rakyat apabila terjadi pengingkaran. Apakah ada kemungkinan masyarakat kembali ditipu, sekalipun sudah menjalin kesepakatan dengan kandidat yang nantinya menjabat? Ya, tentu saja ada. Tapi yakinlah, langkah rakyat untuk menuntut pemenuhan hak bakal lebih mudah dan masuk akal. Sebab ada nota perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak. Selain itu, gerakan apabila sudah terbangun solid dan kolektif, penguasa pun bakal 'berhitung' jika melanggarnya.Bila tidak ada kandidat yang berani memenuhi tuntutan para korban? Pilihan untuk tidak berpartisipasi kiranya menjadi langkah paling bijaksana. Untuk apa ikut serta jika hanya dikuras suaranya, lalu kemudian hari diusir paksa dengan cara semena-mena. PENUTUP Penulis tentu menyadari kondisi demokrasi Indonesia, termasuk sistem pemilunya masih jauh dari kata ideal. Terlihat dari para oligarki yang begitu nyaman berbagi kursi sambil terus menebar godaan lewat praktek-praktek buruk seperti money politik dan sejenisnya. Beranjak dari kenyataan ini, mengharap pemilu bakal menghasilkan pemimpin ideal dan bervisi kerakyatan, kesannya bukan cuma naif, tapi juga menyedihkan. Sialnya, tidak ada pilihan lain. Hanya dengan konsisten mengkonsolidasikan massa kita bisa merawat gerakan, mengedukasi publik sembari menanam benih harapan akan munculnya kekuatan yang mampu menggangu faksi-faksi oligarki tersebut. Jika alpa, masyarakat korban konflik agraria bakal terus terjerumus oleh pengkondisian para elite. Apatis, merasa pemilu tidak mengubah apapun sehingga lebih memilih jadi partisan demi mendapat keuntungan sesaat. Jangankan berupaya meningkatkan posisi tawar, masyarakat malah terpolarisasi dan larut dalam kontestasi kepentingan elite politik.Pada akhirnya, Pilkada tidak ubahnya sebuah pabrik yang memproduksi aktor-aktor perampas tanah masyarakat dalam wujud: gubernur, bupati/walikota.Amin Multazam (Pegiat Hak Asasi Manusia, Aktivis Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan)

Habiskan Rp188,9 Miliar, Polisi Berpotensi Langgar Pembelian Gas Air Mata
Sudut Pandang

Habiskan Rp188,9 Miliar, Polisi Berpotensi Langgar Pembelian Gas Air Mata

Kepolisian hingga Februari 2024 telah menghabiskan anggaran sekitar Rp188,9 miliar hanya untuk membeli gas air mata dan perlengkapannya.Petah.id - Aksi #PeringatanDarurat pada 22 Agustus 2024 di sejumlah wilayah menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya terkait penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh Kepolisian. #PeringatanDarurat merupakan aksi yang diinisiasi oleh kelompok warga yang mendesak agar tidak adanya manipulasi aturan oleh pemerintah dan DPR demi melanggengkan politik dinasti Presiden Joko Widodo. Desakan yang dilakukan oleh kelompok warga direspon secara brutal oleh Kepolisian dengan penggunaan gas air mata secara serampangan sehingga menimbulkan korban.Berdasarkan hasil penelusuran melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (lpse.polri.go.id) milik Polri, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendapati 5 (lima) kali belanja yang dilakukan oleh Polri dalam rentang Desember 2023 hingga Februari 2024. Total pajak warga yang digunakan oleh Polri untuk membelanjakan gas air mata senilai Rp188,9 miliar dan tersebar di 2 (dua) satuan kerja, yakni Korbrimob Polri dan Korsabhara Baharkam Polri. Terdapat 3 (tiga) persoalan terhadap pembelian gas air mata oleh Polri selama ini: Pertama, pembangkangan Polri atas kewajiban membuka informasi pengadaan, terutama kontrak pengadaan. Sejak Agustus 2023 lalu, ICW bersama KontraS dan Trend Asia menuntut Polri membuka kontrak pembelian gas air mata dengan mengajukan permohonan informasi. Namun, Polri menolak membuka informasi tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya informasi yang ditutupi oleh Polri. Ketertutupan informasi pengadaan yang telah ditegaskan dalam Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) patut dilihat sebagai indikasi awal adanya pengadaan yang bermasalah, bahkan dapat mengarah pada potensi korupsi.Menyusul ketertutupan Polri, ICW pada Desember 2023 lalu telah mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Hingga hari ini, KIP tidak kunjung memberi kejelasan penyelesaian sengketa informasi yang kami ajukan. Kami menduga bahwa KIP takut untuk memproses sengketa informasi melawan Polri, bukan hanya perihal padatnya agenda penyelesaian sengketa informasi oleh KIP. Sebab, jika merujuk pada PerKI SLIP yang KIP keluarkan, proses sengketa tak akan membutuhkan waktu lama karena informasi yang ICW mohon jelas merupakan informasi publik. Kedua, tidak adanya pertanggungjawaban atas penggunaan gas air mata oleh Polri. Berdasarkan penelusuran ICW, 1 dari 5 paket pengadaan yang dikerjakan, Polri memberikan informasi mengenai jumlah amunisi yang dibeli, yaitu sebanyak 38.216 peluru. Sedangkan pada 4 paket pengadaan lainnya tidak tersedia informasi secara mendetil jumlah peluru yang dibeli oleh Polri. Hal ini menyulitkan bagi publik untuk menagih akuntabilitas di saat proses penggunaan gas air mata dilakukan secara brutal dan serampangan. Apabila tidak ada pertanggungjawaban, maka polisi patut diduga menggunakan gas air mata kedaluwarsa seperti yang terjadi di tragedi Kanjuruhan. Ketiga, pembelian dilakukan di tengah situasi keamanan yang tidak mendesak. Patut diduga bahwa alasan dibalik belanja gas air mata bernilai fantastis tersebut semata berkaitan dengan upaya pembungkaman kritik masyarakat sipil di tengah tahun politik 2024. Padahal, kritik publik yang meninggi adalah konsekuensi logis atas praktik kompetisi politik elektoral yang diwarnai siasat culas. Ini sekaligus menunjukkan dangkalnya strategi pengamanan Polri, yaitu dengan jalan pintas menyakiti publik pembayar pajak yang mempunyai hak bersuara dengan gas air mata. Dengan demikian, belanja gas air mata oleh Polri menambah daftar panjang pemborosan atau ketidaktepatan penggunaan keuangan negara.Indonesian Coruption Watch, Siaran pers 23 Agustus 2024

Pencatutan NIK untuk Persyaratan Pengajuan Bakal Calon Pilkada, Langgar UU Perlindungan Data Pribadi
Sudut Pandang

Pencatutan NIK untuk Persyaratan Pengajuan Bakal Calon Pilkada, Langgar UU Perlindungan Data Pribadi

Petah.id - Dugaan pencatutan KTP warga terjadi dalam pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Sebelumnya pada 19 Juni, pasangan calon ini telah menyerahkan 1.229.777 dukungan dan hanya 447.469 dukungan yang terverifikasi melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Sementara itu, 782.308 sisanya dinyatakan tidak memenuhi syarat. Percobaan selanjutnya pada 25 Juli 2024, calon kandidat menyerahkan 721.221 KTP-el dari jumlah minimal yang dipersyaratkan sebanyak 618.968. Namun dalam proses verifikasi faktual, hanya 183.043 KTP yang dinyatakan memenuhi syarat. Dalam proses verifikasi faktual kedua, dukungan sebanyak 826.766 kepada calon tersebut dinyatakan lolos administrasi dan terdapat 494.467 dukungan yang dinyatakan memenuhi syarat. Jumlah hasil verifikasi faktual pertama sebanyak 183.043 KTP-el ditambah 498.467 KTP el pada verifikasi faktual kedua membuat pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi dukungan minimal.  Berdasarkan Surat Keputusan KPU RI No. 532/2024, KPU melakukan verifikasi terhadap dokumen syarat dukungan yang diserahkan dan diinput oleh pasangan melalui SILON (Sistem Informasi Pencalonan). Verifikasi administrasi ini dilakukan dengan mencocokan kebenaran dokumen dukungan masing-masing pendukung yang dilampiri dengan fotokopi KTP-el atau surat keterangan berupa biodata penduduk atau dokumen kependudukan lainnya yang sah dan surat pernyataan identitas pendukung. Proses ini juga berusaha melihat kesesuaian antara nama, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, dan status perkawinan pendukung. Verifikasi administrasi kemudian ditindaklanjuti melalui verifikasi faktual (verfak) yang dilakukan dengan metode sensus. Surat Keputusan KPU No. 532/2024 pelaksanaan verifikasi faktual dengan metode sensus. Dalam proses ini, KPU sebenarnya dapat meminta anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pada saat verifikasi faktual, pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan. Dalam melakukan berbagai proses dan tahapan tersebut, semestinya KPU juga memperhatikan kewajiban pelindungan data pribadi, sebagaimana diatur oleh UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), karena berkaitan dengan pemrosesan data pribadi dari subjek data–warga negara. Berdasarkan situasi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mencatat beberapa hal:  Pertama, terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum. Pemrosesan KTP-el yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu (Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP). Untuk meminta persetujuan ini, pasangan calon harus menjelaskan menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, rincian informasi yang dikumpulkan. Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apapun dari subjek data.  Bahkan dalam UU PDP, tindakan tersebut merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan Pasal 65 (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak 5 miliar rupiah (Pasal 67 (1) UU PDP). Selain itu, ketentuan Pasal 95 UU Administrasi Kependudukan mengatur larangan tanpa hak mengakses database kependudukan, yang diancam pidana penjara 2 tahun dan denda 25 juta rupiah. Sebagai perbandingan, bentuk pelanggaran seperti di atas, juga terjadi di negara-negara Uni Eropa yang telah secara baik menerapkan hukum pelindungan data pribadi, termasuk memiliki regulasi khusus yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi dalam Pemilu. Di Belgia misalnya, pada 2020, salah satu kandidat dalam Pemilu lokal dikenakan denda sebesar EUR 5.000, oleh otoritas pelindungan data, dikarenakan melakukan pengumpulan data pribadi konstituen secara tidak sah, untuk kepentingan kampanyenya. Pun demikian di Hungaria, pada 2020, salah satu kandidat walikota juga dihukum denda administratif sebesar HUF 100.000 oleh otoritas pelindungan data setempat, dikarenakan dasar hukum yang digunakan untuk memproses data pribadi dinilai tidak memadai. Kedua, terdapat kejanggalan dalam proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU DKI Jakarta terhadap syarat pencalonan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. KPU sebagai pengendali data atas SILON wajib memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi data yang dikelola dalam sistemnya (Pasal 29 UU PDP). Oleh karena itu, banyaknya pencatutan yang diduga dilakukan dalam kandidasi Pilkada serentak mengindikasikan kegagalan KPU sebagai pengendali dalam menjamin akurasi data bahkan setelah disediakan mekanisme verifikasi administrasi hingga verifikasi faktual. Apalagi, verifikasi faktual harusnya memungkinkan suatu mekanisme dimana anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan. Ketiga, KPU belum secara konsisten menerapkan kewajiban kepatuhan terhadap UU PDP, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan Pemilu. Hal ini terlihat dari belum adanya integrasi dan adopsi standar kepatuhan pelindungan data pribadi, dalam kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi, untuk kepentingan pemenuhan persyaratan pencalonan. Selain itu, dalam proses verifikasi semestinya KPU juga memastikan keabsahan perolehan data pribadi yang digunakan sebagai persyaratan, tidak semata-mata mengacu pada keterpenuhan kelengkapannya. Sebagai informasi, praktik seperti ini juga terjadi pada saat proses verifikasi partai partai politik peserta Pemilu 2024, ketika sejumlah NIK dicatut oleh beberapa partai politik sebagai anggotanya. Lebih jauh, situasi ini juga kian memperkuat dugaan kebocoran data pribadi pada lembaga-lembaga, baik publik maupun privat, yang mengumpulkan data kependudukan (KTP-el). Misalnya pada insiden yang terjadi pada KPU sendiri pada tahun 2023, dan dugaan kebocoran data kependudukan yang terjadi pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri. Sayangnya, sampai dengan saat ini, tidak pernah ada investigasi yang tuntas atas dugaan berbagai insiden kebocoran data tersebut. Dengan maraknya pencatutan dokumen kependudukan tersebut, maka menjadi pertanyaan besar darimana pasangan calon memperoleh KTP-el warga secara ilegal untuk digunakan sebagai syarat dokumen yang diserahkan kepada KPU.Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Siaran Pers 16 Agustus 2024

Membangun Ekosistem Media Di Era Digital
Sudut Pandang

Membangun Ekosistem Media Di Era Digital

Petah.id - Ujian berat pers dan jurnalisme beberapa waktu terakhir ini erat terkait dengan perkembangan teknologi informasi digital. Dalam dua dekade terakhir pers mengalami setidaknya dua krisis sekaligus yang saling berkelindan. Pertama, sebagai entitas bisnis, pers semakin kehilangan pasar karena terus merosotnya jumlah pembaca, pendengar atau penonton, dan pada gilirannya kehilangan sumber pendapatan utama dari iklan. Kedua, dalam hal konten berita, pers harus bersaing dengan media sosial yang menawarkan konten aneka rupa, dalam bentuk teks, audio, video, grafis, dan animasi yang bersifat interaktif, dengan penyebaran secara cepat, massif, berskala global, meskipun tidak terjamin akurasi dan kebenarannya. Sejumlah penelitian mengungkapkan, media sosial menjadi pilihan pertama publik untuk mengakses informasi, meskipun informsinya belum tentu kredibel Perusahaan media konvensional yang tidak lagi mampu bertahan, menyerah kalah. Data Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) mengungkapkan, jumlah perusahaan media cetak anggota SPS cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 2021 jumlah anggota SPS 593 media, kemudian jauh berkurang menjadi 399 media pada tahun 2022.1 Media cetak yang berusaha bertahan umumnya hidup dengan beragam keterbatasan, terpaksa menurunkan standar kinerja, mengurangi jumlah halaman media, tiras pun turun. Kondisi media radio dan televisi tidak jauh berbeda dari media cetak. Sebagian dari media-media konvensional berupaya beradaptasi dengan ekosistem digital, bermigrasi ke media siber, atau melakukan konvergensi antarplatform. Ada yang berhasil, tetapi tak sedikit yang menjumpai kegagalan. Bisnis media siber yang sekilas memberi harapan ternyata tidak mudah diselami. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan sesama media siber, dalam perebutan pasar dan kue iklan, namun lebih-lebih harus menghadapi dominasi platform global: google, facebook, youtube, dan lainnya. Kondisi kesehatan pers umumnya yang kurang menggembirakan tergambar dari hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers yang diselenggarakan Dewan Pers. Hasil survei dalam beberapa tahun terakhir mengungkapkan ketergantungan cukup besar perusahaan perusahaan pers di daerah pada dana iklan pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan utama. Konsekuensinya, mereka amat rentan terhadap intervensi kekuasaan. Jumlah media siber memang bertumbuh, tetapi tidak banyak yang berkembang menjadi institusi pers yang mandiri dan mampu menyajikan karya jurnalistik berkualitas. Untuk dapat bertahan dan berkembang, secara bisnis, sebagian media siber akhirnya mengikuti logika bisnis platform global yang tidak selalu sejalan dengan kaidah jurnalistik yang mengedepankan kepentingan publik. Menyikapi kondisi demikian, Dewan Pers sebagai lembaga independen yang mengemban peran berdasarkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers untuk mengembangkan kehidupan pers, tidak berdiam diri. Program dan kegiatan Dewan Pers selama ini telah diorientasikan untuk secara umum mampu menciptakan ekosistem bagi tumbuh kembang pers secara sehat. Melalui program dan kegiatan pendataan, Dewan Pers mendorong perusahaan-perusahaan pers memenuhi standar sebagai perusahaan pers profesional: sehat secara bisnis dan berkualitas dari sisi karya jurnalistik yang dihasilkan. Dewan Pers beberapa kali menyelenggarakan kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas media, agar mampu mempraktikkan model-model bisnis yang sesuai dengan era digital. Selain itu, Dewan Pers juga memfasiitasi penyelenggaraan Uji Kompetensi Wartawan untuk mendorong peningkatan kemampuan profesionalisme wartawan. Dewan Pers juga beberapa kali menyelenggarakan literasi terkait penegakan etika jurnalistik. Secara khusus, pada tahun politik 2023 ini, Dewan Pers melangsungkan workshop peliputan pemilu secara maraton di sekitar 30 provinsi di Indonesia. Upaya lainnya yang cukup strategis terkait pengembangan bisnis media dilakukan Dewan Pers bersama Konstituen yaitu pengajuan draf Rancangan Perpres tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Melalui peraturan tersebut nantinya diharapkan perusahaan pers dapat memperoleh kompensasi yang lebih adil atas pemanfaatan konten berita mereka oleh platform global. Namun, membangun ekosistem media yang sehat tentu tidak dapat dilakukan oleh hanya satu-dua pihak. Dibutuhkan sinergi berbagai pihak: Dewan Pers bersama konstituen, organisasi perusahaan pers, organisasi wartawan, dan stakeholder pers secara umum. Selain itu, dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pers merupakan salah satu unsur penegak demokrasi. Oleh karena itu, terdapat tanggung jawab yang melekat pada Negara untuk menjamin tumbuh kembang pers secara sehat. Hal itu perlu dipantau terus menerus antara lain dalam pembentukan regulasi dan kebijakan yang menguatkan kemerdekaan pers, pemberian insentif perpajakan bagi perusahaan pers, fasilitasi bagi peningkatan kepasitas pers dan wartawan, dan literasi media bagi publik.Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers 2022-2025) *Tulisan ini disadur dari Jurnal Dewan Pers Volume 26, Desember 2023

Mengapa Revisi UU Polri Layak Dihentikan?
Sudut Pandang

Mengapa Revisi UU Polri Layak Dihentikan?

Pekanbaru, Petah.id - Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sedang menuai sorotan publik. Dalam waktu yang begitu singkat, rapat paripurna DPR pada Selasa 28 Mei 2024 telah mengesahkan RUU Polri menjadi usul inisiatif DPR. Hal ini cukup mengejutkan, mengingat RUU Polri tidak termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2024.Kepolisian memang memerlukan dasar hukum yang kuat guna melaksanakan tugasnya dalam menghadapi tantangan yang seiring dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, UU Nomor 2 Tahun 2002 sudah berusia lebih dari 20 tahun sehingga boleh jadi tidak lagi mampu menjawab tantangan tersebut. Namun berkaca pada proses, mekanisme dan isi revisi UU Polri yang saat ini sedang di ‘godok’ DPR, harapan membentuk Polri yang lebih optimal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat disinyalir bakal kontraproduktif. Setidaknya hal itu tampak dari beberapa poin berikut:Pertama, revisi UU Polri tidak menjawab problem kompetensi dan integritas institusi Polri. Masyarakat menantikan institusi kepolisian yang memiliki kompetensi dan integritas. Dua persoalan yang kian hari kian diragukan imbas banyaknya kasus-kasus yang mencoreng wajah kepolisian. Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2023 menunjukan kepolisian menempati peringkat teratas sebagai institusi yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM dengan jumlah 771 pengaduan. Sepatutnya revisi UU Polri disusun dalam rangka menjawab persoalan tersebut. Memastikan institusi kepolisian yang profesional, modern, transparan, akuntabel dan berintegritas. Caranya dengan menambal sejumlah kelemahan mekanisme pengawasan serta menguatkan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian.Sayangnya, tidak ada perubahan signifikan pada BAB Pembinaan Profesi maupun Lembaga Kepolisian Nasional yang seharusnya dapat menjawab masalah tersebut. Berdasarkan draft revisi yang tersedia, perubahan menyasar pasal 35 Ayat (2) mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sebelumnya diatur oleh ‘Keputusan Kapolri’, kini diatur dengan ‘Peraturan Kepolisan’. Begitupun Pasal 39 Ayat (3) yang berkaitan dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Ketentuan mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan pemberhentian anggota Kompolnas yang sebelumnya diatur dengan ‘Keputusan Presiden’, sekarang diatur dengan ‘Peraturan Presiden’. Tidak terlihat upaya menguatkan peran kompolnas dengan memperluas wewenang, mendorong lebih banyak keterlibatan anggota masyarakat, termasuk dalam hal penegakan etik dan disiplin anggota Polri dalam revisi UU ini.Kedua, revisi UU Polri cenderung mengakomodir kepentingan internal institusi, bukan kebutuhan publik. Hal tersebut tercermin dari penambahan batas usia maksimum anggota Polri. Pasal 30 Ayat (2) huruf a dan b yang secara rinci mengatur batas usia anggota Polri sama sekali tidak ada urgensinya dengan kebutuhan publik. Dalam kacamata yang lebih kritis, ketentuan ini akan berkait erat dengan pengesahan RUU Aparatur Sipil Negara maupun RUU Kementerian Negara yang membuka ruang bagi anggota Polri untuk menduduki sejumlah jabatan sipil.Selain itu, menurut Pasal 16 Ayat (1) huruf n, Polri memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Kewenangan semacam ini membuka peluang menguatnya intervensi Polri sekaligus menjauhkan independensi lembaga lain seperti misalnya KPK. Mengingat penyidiknya diangkat berdasarkan rekomendasi dari institusi Polri. Ketentuan-ketentuan yang dirancang dalam revisi UU Polri semakin menguatkan kesan peran politis institusi Polri.Ketiga, perluasan kewenangan, tugas dan fungsi Polri dalam revisi UU Polri mengancam prinsip Hak Asasi Manusia. Sorotan utama ada pada kewenangan melakukan penyadapan sebagaimana Pasal 14 ayat (1) huruf o. RUU ini bahkan tidak mengharuskan anggota kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan. Belum selesainya UU yang secara spesifik mengatur penyadapan membuat kewenangan ini rentan disalahgunakan. Sebagai informasi, RUU Penyadapan sampai saat ini masih tertahan di DPR sejak digulirkan pada 2023 lalu.Persoalan lain ada pada Pasal 16 Ayat (1) huruf q yang memperkenankan Polri melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Berkaca dari pengalaman, tindakan membatasi Ruang Siber kerap kali digunakan untuk meredam isu-isu yang mengkritik pemerintah sehingga mempersempit ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik. Pengawasan Ruang Siber juga berpotensi melanggar hak privasi dan hak individu dalam memperoleh informasi. Apalagi seperti sudah disinggung sebelumnya, bertambahnya deretan kewenangan kepolisian tidak diiringi dengan pengaturan terkait mekanisme pengawasan (oversight mechanism). Wajar bila perluasan kewenangan dalam Revisi UU Polri disimpulkan sebagai ancaman terhadap HAM.Keempat, revisi UU Polri terburu-buru, sarat kepentingan politik dan minim partisipasi publik. Mengingat peran Polri begitu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pembahasan RUU Polri ketika masa transisi pemerintahan bukanlah tindakan yang bijaksana. Langkah DPR yang tiba-tiba menginisiasi Revisi UU Polri (bersama 3 RUU lain: UU TNI, UU Kementrian Negara dan UU Keimigrasian) patut dicurigai. Apalagi banyak pekerjaan rumah berupa RUU dalam Prolegnas yang belum mereka selesaikan. RUU dengan ‘jalur khusus’ seperti revisi UU Polri semakin kentara melihat proses rapat paripurna DPR 28 Mei 2024 lalu. Dengan dalil mempersingkat waktu, pendapat fraksi-fraksi tidak dibacakan dan hanya disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR. Pola semacam ini membawa ingatan publik terhadap lahirnya sejumlah UU kontroversial beberapa waktu lalu. Dikebut dan disahkan secara tertutup serta minim partisipasi bermakna dari publik.Kiranya 4 poin argumentasi diatas sudah cukup menegaskan bahwa Revisi UU Polri yang sedang ‘kejar tayang’ di DPR layak dihentikan pembahasannya. Polri butuh dasar hukum yang baru, yang disusun secara baik dan tidak terburu-buru. Itulah mengapa perlu menyuarakan penghentian revisi UU Polri yang berjalan sekarang ini. Sekalipun kita sadar, desakan-desakan dari masyarakat sipil di luar parlemen bukan hambatan berarti bagi mereka. Para pejabat culas yang doyan mengubah aturan demi dan atas nama kepentingan kelompoknya.Amin Multazam (Pegiat Hak Asasi Manusia, Aktivis Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan)