Bergantung hidup dari sungai dan hutan. Begitu sekilas gambaran kehidupan masyarakat Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau
Kampar, Petah.id - Suara kapal berderu membelah sungai. Beberapa penumpang tampak santai, duduk di atas sepeda motor yang ikut mereka seberangkan. Kapal motor yang oleh masyarakat setempat disebut ‘pompong’ ini melaju menuju dermaga yang berada persis diseberangnya. Jaraknya tidak jauh. Kurang lebih berkisar 100 meter. Dengan tarif pulang pergi Rp5.000-, ‘pompong’ merupakan transportasi utama bagi warga Dusun I dan Dusun II Desa Buluh Cina.
“Kalau naik ini (pompong) ya tiap hari lah bang,” ujar Ali pada saya.
Ali merupakan warga Dusun I Desa Buluh Cina. Ia mengatakan, kalau akses paling cepat menuju kota (Pekanbaru) adalah dengan menggunakan ‘pompong’. Selain itu, ‘pompong’ juga beroperasi setiap hari, mulai dari pagi hingga malam sekira pukul 23.00 Wib.
Wajar bila ‘pompong’ menjadi transportasi utama masyarakat Buluh Cina. Sebab, secara geografis, bentang alam desa mereka dipisahkan oleh Sungai Kampar. Membagi antara wilayah dusun I dan II dengan dusun III dan IV.
Bermukim persis di tepian sungai membuat kehidupan masyarakat sangat bergantung dari pemanfaatan sungai. Selain sebagai sarana transportasi, sungai merupakan sumber mata pencaharian dalam menopang prekonomian. Hal ini terlihat dari banyaknya keramba budidaya ikan yang berjejer di sepanjang tepian sungai. Begitupun untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus.
Buluh Cina bahkan sempat mendapat sorotan nasional ketika secara rutin menggelar event olahraga tradisional pacu sampan. Memanfaatkan aliran Sungai Kampar sebagai arena, olahraga tradisional ini menjadi hiburan favorit masyarakat. Gelaran lomba biasanya dilangsungkan setiap tahun. Tapi sayang, sejak tahun 2007 acara ini tidak lagi digelar secara rutin.
Hutan Adat Menjadi Taman Wisata Alam (TWA)
Cerita Desa Buluh Cina rupanya bukan hanya tentang pemanfaatan sungai. Desa berpenghuni 1.600-an jiwa ini juga dianugerahi kekayaan alam berupa hutan yang mereka sebut ‘Rimbo Tuju’. Ekosistemnya didominasi hutan dataran rendah dan rawa air tawar.
Selain potensi flora dan fauna, Rimbo Tuju menyimpan keindahan berupa pemandangan alam tujuh buah danau. Di dalamnya, hidup berjenis-jenis ikan dengan nilai ekonomi tinggi seperti ikan selais, baung, patin yang dimanfaatkan sebagai pendapatan tambahan masyarakat.
Foto : Hutan Adat Rimbo Tuju/ Dokumentasi : Multazam
Hutan yang berada di atas tanah ulayat masyarakat Buluh Cina ini punya arti yang begitu besar. Lembaga adat, pemerintah desa dan masyarakat secara turun temurun berupaya menjaga kelestariannya melalui sejumlah aturan adat. Nilai, norma, hukum dan pengetahuan diwariskan dari generasi ke generasi.
Desa Buluh Cina merupakan Desa Adat yang memiliki 2 suku asli. Suku Melayu dan Suku Domo. Masing-masing suku memiliki Ninik Mamak dan gelar yang berbeda-beda sebagai pemangku adat. Suku Melayu merupakan Penghulu adat dari Pucuk Suku Melayu dan Pucuk Suku Domo.
Bentuk kearifan lokal untuk menjaga lingkungan terlihat dari peran Pucuk Adat Ninik Mamak dan Kepala Desa dalam memberikan sanksi kepada siapa saja yang melakukan perusakan hutan.
Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pemangku adat, DT Ammirudin AG.
“Ninik mamak memberi hukuman pada pelaku, mulai bentuknya peringatan, sampai sanksi membersihkan pekarangan desa, membersihkan pemakaman dan hukuman lainnya,” ujarnya.
Selain itu, terdapat larangan menangkap ikan dengan cara memutas/meracun menggunakan bahan kimia. Adapun alat tangkap tradisional yang dipergunakan adalah ‘bolek’ yang terbuat dari bambu dan rotan.
Saat ini, areal Rimbo Tuju sudah berstatus Taman Wisata Alam (TWA). Berdasarkan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Berubahnya Hutan Adat menjadi TWA diawali dari kesepakatan bersama Masyarakat Desa Buluh Cina untuk menghibahkan hutan mereka kepada pemerintah yang ditandai dengan keluarnya Keputusan Gubernur Riau No 468/IX/2006 tanggal 6 September 2006. Lalu, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3587/MenhutVII/KUH/2014 tanggal 2 Mei 2014, kawasan ini resmi menjadi TWA dengan luas 963.33 hektar.
Peralihan status dari hutan adat menjadi TWA menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan. Dari hak ulayat menjadi kawasan konservasi. Demikian juga soal kewenangan, dari hutan adat yang dulunya di kelola bersama oleh lembaga adat, masyarakat dan pemerintah desa, saat ini menjadi kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Menurut masyarakat, menghibahkan tanah ulayat menjadi kawasan konservasi merupakan salah satu cara menyelamatan kawasan hutan mereka dari maraknya para pembalak liar dan kepungan industri perkebunan sawit yang semakin merajalela.
Sebagai Desa Wisata
Pasca penetapan TWA, Desa Buluh Cina sejak beberapa tahun belakangan terus berupaya mengemas identitasnya menjadi desa wisata. Konsep Eko-edu wisata dipilih sebagai branding ke calon pengunjung. Secara potensi, hal itu harusnya dapat terwujud dengan mudah. Selain hutan dengan alam yang indah untuk tracking dan camping, Buluh Cina juga bisa menjadi pilihan untuk memancing dan menjala ikan. Berpadu dengan budaya dan kearifan lokal, rasanya unsur ekologi dan edukasi semakin terpenuhi.
Hanya saja, mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadi desa sadar wisata jelas bukan perkara mudah. Selain perlu penanaman kesadaran ketengah-tengah masyarakat secara komprhensif, dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah juga menjadi kunci utama.
Syahrial, salah seorang warga Desa Buluh Cina menyoroti hal serupa. Menurutnya penting dukungan dari pemerintah untuk merenovasi rumah-rumah panggung yang ada di desanya. Membuat program-program pendidikan wisata hingga mengembangkan usaha-usaha rumahan yang dapat meningkatkan prekonomian warga.
“Dengan begitu, geliat sebagai desa wisata pasti langsung terasa ke pengunjung,” tegasnya.
Di sisi lain, Syahrial berharap berubahnya Buluh Cina menjadi desa wisata tidak berakibat pada rusaknya tatanan nilai dan budaya asli masyarakat. Apalagi hingga merusak sungai dan hutan adat mereka.
“Ramai pun pengunjung datang tiap hari kalau ujung-ujungnya merusak alam ya untuk apa,” tutup Syahrial.