Mengenal Istana Presiden Yang Disebut Jokowi Berbau Kolonial

Foto: Istana Merdeka / sumber: Internet

Petah.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo terkait ‘bau kolonial’ di istana negara menuai ragam reaksi publik. Pernyataan tersebut beliau sampaikan ketika memberikan pengarahan kepada kepala daerah seluruh Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurut presiden, dua istana negara di Jakarta sangat kental dengan bau kolonialisme karena merupakan warisan Belanda. 

"Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi, Belanda, bekas gubernur jenderal Belanda. Dan sudah kita tempati 79 tahun, ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari dibayang-bayangi," ucap Jokowi sebagaimana dikutip melalui siaran YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/8/2024).

Lantas, bagaimana sebenaranya sejarah istana kepresidenan di Jakarta? Mari kenal lebih jauh.

Istana Presiden Indonesia merupakan kediaman resmi presiden dan tempat berlangsungnya berbagai kegiatan kenegaraan. Saat ini, terdapat enam Istana Kepresidenan yang tersebar di Indonesia. Dua diantaranya terdapat di Ibukota Jakarta, yakni Istana Merdeka dan Istana Negara. 

Istana Merdeka terletak di Jalan Merdeka Utara dan menghadap ke Taman Monumen Nasional. Pembangunan istana ini diarsiteki oleh Drossares dan dilaksanakan ketika masa pemerintahan Gubernur Jenderal James Loudon pada tahun 1873. Pembangunan baru rampung tahun 1879 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge. Istana ini dulu dikenal dengan nama Istana Gambir.

Dilansir dari laman Kementerian Sekretariat Negara, hingga kini, sebanyak 20 orang telah mendiami Istana Merdeka: 15 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 3 Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara XVI Jepang di Jawa), dan 2 Presiden RI. Namun dari 15 Gubernur Jenderal Belanda itu, hanya 4 orang yang benar-benar tinggal; yang lainnya memilih Istana Bogor. Presiden RI yang betul-betul tinggal adalah Presiden pertama Soekarno, Presiden keempat Abdurrahman Wahid, dan Presiden ketujuh Joko Widodo sebelum kemudian bertempat tinggal di Istana Bogor.

Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, istana ini menjadi saksi penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Republik Indonesia Serikat diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Kerajaan Belanda diwakili oleh A.H.J. Lovink, Wakil Tinggi Mahkota di Indonesia.

Sedangkan Istana Negara, merupakan Istana Kepresidenan Indonesia yang terletak di Jalan Veteran dan menghadap ke Sungai Ciliwung. Istana ini membelakangi Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional dan dihubungkan oleh Halaman Tengah.

Istana Negara pada awalnya merupakan kediaman pribadi seorang warga negara Belanda yang bernama J.A. van Braam. Ia mulai membangun kediamannya pada tahun 1796, (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten) sampai dengan tahun 1804 (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg). Namun, pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda. Oleh karena itu pula, istana ini dijuluki “Hotel Gubernur Jenderal”.

Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara diantaranya tatkala Jenderal de Kock menguraikan rencananya untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Demikian pula halnya tatkala Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel

Terlepas dari pengakuan Presiden Joko Widodo yang dibayang-bayangi bau kolonial selama mendiami istana peninggalan pemerintah Hindia Belanda, keduanya menyimpan cerita penting dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah tumbuhnya Indonesia sebagai sebuah bangsa.


Editor : Redaksi
Bagikan berita ini melalui :