Keindahan dibalik kesedihan atau kesedihan dibalik keindahan. Sulit menjawab kalimat mana yang lebih tepat untuk menggambarkan panorama alam Danau Koto PanjangKampar, Petah.id - Bukan tanpa alasan kalimat itu menyeruak dalam benak saya. Sebelum tahun 1991, kawasan perairan dengan deretan pulau-pulau kecil ini merupakan perkampungan masyarakat. Pembangunan PLTA Koto Panjang-lah yang mengubah kondisi bentang alamnya hingga menjadi seperti sekarang. Demi menghasilkan pasokan daya 114 Megawatt (MW), digagas ide pembangunan bendungan dengan membentengi aliran Sungai Kampar di Rantau Berangin. Project finding dilakukan perusahaan konsultan asal Jepang, Tokyo Electric Power Service Co. Ltd (TEPSCO). Pembangunan fisik proyek mulai dilaksanakan sejak tahun 1991. Berjalan lebih kurang 5 tahun, bendungan PLTA Kota Panjang akhirnya selesai pada Maret 1996. Beroperasinya bendungan secara otomatis membentuk danau seluas 12.400 Ha. Lokasinya tepat berada di wilayah tapal batas antara Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Secara administratif terdiri dari dua wilayah kewenangan. Kecamatan XIII Koto Kampar Provinsi Riau dan Kecamatan 50 Koto Provinsi Sumatra Barat. Walhi Riau dalam laporan berjudul Menyoal Ecocide Di Provinsi Riau (2019), mencatat 10 Desa dengan total 3.638 kepala keluarga ketika itu harus direlokasi. Langkah yang tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Disatu sisi. Dalih krisis energi dan kebutuhan atas pasokan listrik menyebabkan urgensi pembangunan PLTA tak bisa ditawar. Tapi disisi lain, pembangunan ini juga berpotensi menghilangkan habitat bagi banyak satwa yang sebelumnya bermukim di lokasi. Gajah dan Harimau Sumatera diantaranya. Belum lagi menyoal perubahan bentang alam yang berpotensi melahirkan bencana ekologis, seperti banjir.Dari dokumen riset Dampak Pembangunan PLTA Kotopanjang Terhadap Keberadaan Populasi Gajah di Wilayah Genangan dan Kesehatan Masyarakat (2010), diketahui bahwa peminjaman dana pembangunan dari Jepang diberikan dengan tiga syarat. Pertama, Gajah yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok. Kedua, tingkat kehidupan KK yang kena dampak dari proyek Koto Panjang harus sama atau lebih baik dari kehidupannya di tempat lama. Sedangkan syarat ketiga, persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek prosesnya harus dilakukan dengan adil dan merata. Pemerintah Indonesia pun menyetujui dan menyerahkan laporan akhir yang berisikan syarat tersebut pada tahun 1992. Meskipun di sisi lain, sebagaian masyarakat masih melakukan protes keras yang ditandai dengan kedatangan lima orang utusan warga Koto Kampar ke Jakarta untuk menyuarakan tuntutan mereka akan rendahnya harga ganti rugi.Potensi PariwisataLebih dua dekade cerita itu sudah berlalu. Hamparan gugusan pulau yang terletak di tengah bendungan PLTA Kota Panjang kini berubah menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Kampar. Penduduk sekitar mulai mengubah puncak-pucak bukit menjadi spot foto dan tempat peristirahatan.Pasar pengunjung potensial berasal dari Provinsi Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Khususnya dari pengguna jalan yang melintasi jalur Sumatera Barat – Riau via Koto Panjang. Tingginya mobilitas masyarakat yang melintas menciptakan peluang besar bagi daerah ini untuk dikembangkan sebagai kawasan resting area. Salah satu spot paling populer adalah Puncak Ulu Kasok yang kerap dijuluki sebagai Raja Ampat-nya Riau. Lokasi ini mulai ramai sejak viral di tahun 2017. Menyajikan Panorama alam indah dengan deretan pulau-pulau kecil yang menyembul diantara perairan. Dari jauh terlihat Gugusan perbukitan Bukit Barisan yang menjadi sumber mata air. Danaunya yang bewarna kehijauan seakan-akan menarik pengunjung untuk berpetualang mengarunginyaRizal, salah seorang pedagang yang mangkal di kawasan itu menjelaskan bahwa Ulu Kasok biasanya ramai saat akhir pekan. Pengunjung silih berganti berdatangan untuk sekedar berfoto dan menikmati pemandangan. Namun jika hari biasa (hari kerja), pengunjung tidak begitu banyak. “Kalo hari sabtu, minggu atau hari libur ya lumayan pendapatan bang,” kata Rizal.Tak jauh dari Ulu Kasok, terdapat juga spot wisata bernama Puncak Kompe. Menawarkan sajian alam serupa. Hanya titik memandangnya yang sedikit berbeda. Destinasi ini dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Pendapatan yang berasal dari tiket masuk pengunjung mereka kelola secara mandiri. Demikian dijelaskan Eko, salah seorang pengelola Puncak Kompe. Menurut Eko, jumlah pengunjung setiap akhir pekan bisa mencapai 200-an orang. Dengan tiket masuk sebesar 15 ribu per-orang, angka ini tentu sangat membantu prekonomian para pengelola objek wisata yang merupakan warga desa sekitar. Sebagai pengelola, Eko berharap pemerintah bersedia membantu mereka untuk mengembangkan objek wisata Puncak Kompe. Mengingat pemandangan di tempat ini menurutnya sangat menjanjikan. Namun pengalaman dan jam terbang masyarakat dalam mengelolanya sebagai sebuah industri masih cukup minim. “Kalau bisa dikembangkan lah tempat ini, biar bisa kayak tempat-tempat wisata lain diluar sana,” harap Eko. Pentingnya Menjaga EkosistemBerkembangnya industri pariwisata terkadang malah melahirkan sejumlah ancaman terkait kelestarian kawasan. Pembangunan sarana penunjang seperti perumahan, warung-warung terapung hingga keramba budidaya ikan saat ini bertumbuh pesat. Padahal, di sisi lain daerah sekitar bendungan merupakan buffer zone yang idealnya harus terjaga.Kondisi DAS Kampar dan daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang wajib mendapatkan perhatian serius. Sebagaimana penjelasan Makruf Maryadi Siregar kepada Mongabay (2015) silam, luasan hutan tinggal 886,1 kilomter persegi dari sebelumnya 3.331 Kilometer Persegi. Dengan demikian, merestorasi hutan di sekitar Danau adalah opsi yang tak bisa ditawar. Aras Mulyadi, dalam jurnal Industri dan Perkotaan Volume VIII (2003) secara tegas menyampaikan pentingnya menjaga ekosistem di kawasan Danau PLTA Kota Panjang. Kelestarian waduk PLTA Koto Panjang sangat dipengaruhi oleh permasalahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Degradasi daerah tangkapan air akan memicu laju erosi dan sedimentasi yang masuk ke dalam waduk. Jika kondisi ini berlanjut terus maka hanya akan memperpendek umur waduk, yang pada gilirannya akan mengganggu pasokan listrik.Masih dalam jurnal tersebut, Aras menjelaskan setidaknya ada empat cara yang dapat ditempuh dalam rangka meminimalisir degradasi daerah tangkapan, laju erosi dan sedimentasi. Pertama, pengembangan tata ruang terpadu, baik yang untuk mengatur pemanfaatan daerah perairan dan pemanfaatan daerah daratan. Kedua, pengelolaan terpadu dengan pelibatan masyarakat tempatan. Ketiga, penerapan konsep satu manejemen pengelolaan lingkungan (one plan one mangement). Keempat, ciptaan lapangan ekonomi bagi masyarakat sehingga pemanfaatan Danau PLTA Koto Panjang dan daerah bagian atasnya dapat dikendalikan. Memang teori tidak semudah implementasi. Namun, mau tidak mau, suka tidak suka hal tersebut harus segera dilaksanakan. Semata-mata demi menjaga fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi yang saling terkait di kawasan ini.
Bergantung hidup dari sungai dan hutan. Begitu sekilas gambaran kehidupan masyarakat Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau Kampar, Petah.id - Suara kapal berderu membelah sungai. Beberapa penumpang tampak santai, duduk di atas sepeda motor yang ikut mereka seberangkan. Kapal motor yang oleh masyarakat setempat disebut ‘pompong’ ini melaju menuju dermaga yang berada persis diseberangnya. Jaraknya tidak jauh. Kurang lebih berkisar 100 meter. Dengan tarif pulang pergi Rp5.000-, ‘pompong’ merupakan transportasi utama bagi warga Dusun I dan Dusun II Desa Buluh Cina. “Kalau naik ini (pompong) ya tiap hari lah bang,” ujar Ali pada saya. Ali merupakan warga Dusun I Desa Buluh Cina. Ia mengatakan, kalau akses paling cepat menuju kota (Pekanbaru) adalah dengan menggunakan ‘pompong’. Selain itu, ‘pompong’ juga beroperasi setiap hari, mulai dari pagi hingga malam sekira pukul 23.00 Wib. Wajar bila ‘pompong’ menjadi transportasi utama masyarakat Buluh Cina. Sebab, secara geografis, bentang alam desa mereka dipisahkan oleh Sungai Kampar. Membagi antara wilayah dusun I dan II dengan dusun III dan IV. Bermukim persis di tepian sungai membuat kehidupan masyarakat sangat bergantung dari pemanfaatan sungai. Selain sebagai sarana transportasi, sungai merupakan sumber mata pencaharian dalam menopang prekonomian. Hal ini terlihat dari banyaknya keramba budidaya ikan yang berjejer di sepanjang tepian sungai. Begitupun untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus. Buluh Cina bahkan sempat mendapat sorotan nasional ketika secara rutin menggelar event olahraga tradisional pacu sampan. Memanfaatkan aliran Sungai Kampar sebagai arena, olahraga tradisional ini menjadi hiburan favorit masyarakat. Gelaran lomba biasanya dilangsungkan setiap tahun. Tapi sayang, sejak tahun 2007 acara ini tidak lagi digelar secara rutin.Hutan Adat Menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Cerita Desa Buluh Cina rupanya bukan hanya tentang pemanfaatan sungai. Desa berpenghuni 1.600-an jiwa ini juga dianugerahi kekayaan alam berupa hutan yang mereka sebut ‘Rimbo Tuju’. Ekosistemnya didominasi hutan dataran rendah dan rawa air tawar. Selain potensi flora dan fauna, Rimbo Tuju menyimpan keindahan berupa pemandangan alam tujuh buah danau. Di dalamnya, hidup berjenis-jenis ikan dengan nilai ekonomi tinggi seperti ikan selais, baung, patin yang dimanfaatkan sebagai pendapatan tambahan masyarakat. Foto : Hutan Adat Rimbo Tuju/ Dokumentasi : MultazamHutan yang berada di atas tanah ulayat masyarakat Buluh Cina ini punya arti yang begitu besar. Lembaga adat, pemerintah desa dan masyarakat secara turun temurun berupaya menjaga kelestariannya melalui sejumlah aturan adat. Nilai, norma, hukum dan pengetahuan diwariskan dari generasi ke generasi. Desa Buluh Cina merupakan Desa Adat yang memiliki 2 suku asli. Suku Melayu dan Suku Domo. Masing-masing suku memiliki Ninik Mamak dan gelar yang berbeda-beda sebagai pemangku adat. Suku Melayu merupakan Penghulu adat dari Pucuk Suku Melayu dan Pucuk Suku Domo. Bentuk kearifan lokal untuk menjaga lingkungan terlihat dari peran Pucuk Adat Ninik Mamak dan Kepala Desa dalam memberikan sanksi kepada siapa saja yang melakukan perusakan hutan. Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pemangku adat, DT Ammirudin AG. “Ninik mamak memberi hukuman pada pelaku, mulai bentuknya peringatan, sampai sanksi membersihkan pekarangan desa, membersihkan pemakaman dan hukuman lainnya,” ujarnya. Selain itu, terdapat larangan menangkap ikan dengan cara memutas/meracun menggunakan bahan kimia. Adapun alat tangkap tradisional yang dipergunakan adalah ‘bolek’ yang terbuat dari bambu dan rotan. Saat ini, areal Rimbo Tuju sudah berstatus Taman Wisata Alam (TWA). Berdasarkan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Berubahnya Hutan Adat menjadi TWA diawali dari kesepakatan bersama Masyarakat Desa Buluh Cina untuk menghibahkan hutan mereka kepada pemerintah yang ditandai dengan keluarnya Keputusan Gubernur Riau No 468/IX/2006 tanggal 6 September 2006. Lalu, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3587/MenhutVII/KUH/2014 tanggal 2 Mei 2014, kawasan ini resmi menjadi TWA dengan luas 963.33 hektar. Peralihan status dari hutan adat menjadi TWA menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan. Dari hak ulayat menjadi kawasan konservasi. Demikian juga soal kewenangan, dari hutan adat yang dulunya di kelola bersama oleh lembaga adat, masyarakat dan pemerintah desa, saat ini menjadi kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. Menurut masyarakat, menghibahkan tanah ulayat menjadi kawasan konservasi merupakan salah satu cara menyelamatan kawasan hutan mereka dari maraknya para pembalak liar dan kepungan industri perkebunan sawit yang semakin merajalela. Sebagai Desa Wisata Pasca penetapan TWA, Desa Buluh Cina sejak beberapa tahun belakangan terus berupaya mengemas identitasnya menjadi desa wisata. Konsep Eko-edu wisata dipilih sebagai branding ke calon pengunjung. Secara potensi, hal itu harusnya dapat terwujud dengan mudah. Selain hutan dengan alam yang indah untuk tracking dan camping, Buluh Cina juga bisa menjadi pilihan untuk memancing dan menjala ikan. Berpadu dengan budaya dan kearifan lokal, rasanya unsur ekologi dan edukasi semakin terpenuhi. Hanya saja, mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadi desa sadar wisata jelas bukan perkara mudah. Selain perlu penanaman kesadaran ketengah-tengah masyarakat secara komprhensif, dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah juga menjadi kunci utama. Syahrial, salah seorang warga Desa Buluh Cina menyoroti hal serupa. Menurutnya penting dukungan dari pemerintah untuk merenovasi rumah-rumah panggung yang ada di desanya. Membuat program-program pendidikan wisata hingga mengembangkan usaha-usaha rumahan yang dapat meningkatkan prekonomian warga. “Dengan begitu, geliat sebagai desa wisata pasti langsung terasa ke pengunjung,” tegasnya. Di sisi lain, Syahrial berharap berubahnya Buluh Cina menjadi desa wisata tidak berakibat pada rusaknya tatanan nilai dan budaya asli masyarakat. Apalagi hingga merusak sungai dan hutan adat mereka. “Ramai pun pengunjung datang tiap hari kalau ujung-ujungnya merusak alam ya untuk apa,” tutup Syahrial.