Pekanbaru, Petah.id - Kondisi keuangan Republik Indonesia saat ini cukup baik dan stabil. Meskipun, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor domestik maupun faktor secara global. Pada tahun 2024, meskipun Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relative stabil, tantangan besar tetap ada, terutama terkait dengan inflasi, defisit anggaran, dan hutang.Hal itu bisa dilihat dari nilai investasi yang terus meningkat, dan kinerja ekspor yang cukup baik.Kondisi keuangan Indonesia dapat dilihat dari Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan kebijakan moneter Pemerintah Indonesia relatif sangat baik dan utang Indonesia terkendali dengan baik, walaupun melihat di segi angka utang Indonesia terus meningkat seiring dengan pembiayaan devisit anggaran. Pemerintah menghadapi beberapa tantangan dalam menjaga keberlanjutan utang yang berlebihan untuk masa akan datang. Pemerintah Indonesia sendiri masih menghadapi devisit anggaran, meskipun ada upaya-upaya untuk mengoptimalkan di segi penerimaan Pajak dan Pembatasan Belanja Negara. Kebijakan fiskal yang diambil Pemerintah sangat memerlukan kehatihatian agar bisa menjaga keseimbangan.Pemerintah telah berhasil menurunkan defisit anggaran secara bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara semakin prudent dan berkelanjutan. Tingkat inflasi di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih terjaga dan stabilitas,harga dapat dipertahankan dan bisa dikatakan inflasi terkendali. Kita juga melihat disisi cadangan devisa Indonesia cukup memadai untuk membiayai impor dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.Melihat Investasi dan infrastuktur dalam berbagai jenis proyek-proyek infrastruktur besar yang di jalankan Pemerintah diharapkan dapat mendorong lajunyapertumbuhan ekonomi untuk masa jangka Panjang dan meningkatkan daya saing Negara Indonesia di Tingkat Global.Meskipun pemerintah saat ini begitu banyak menghadapi tantangan, tetapi pemerintah selalu berupaya menunjukkan pengelolaan keuangan negara dengan baik dan sangat hati- hati, agar tetap berada pada jalur pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, tidak luput dari perhatian terhadap pengelolaan utang negara, pembenahan dalam sektor pajak, dan kebijakan fiskal yang bijaksana akan sangat penting di kedepannya.Adapun tantangan yang harus di perhatikan oleh pemerintah seperti, kenaikan harga komoditas global, Perlambatan Ekonomi Global dan utang pemerintah yang masih cukup tinggi. Kenaikan harga komoditas global dapat mempengaruhi biaya produksi dan mendorong naiknya inflasi, sedangkan Perlambatan ekonomi global dapat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia dan mengurangi aliran modal asing, tantangan utang pemerintah walaupun telah mengalami penurunan, tingkat utang pemerintah masih perlu dijaga agar tetap berkelanjutan.Secara umum, kondisi keuangan Indonesia saat ini cukup baik dan menjanjikan. Namun, pemerintah dan seluruh stakeholder perlu tetap hati-hati dan terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi.Ditulis oleh Denny Kurniawan dan Zulfandri, mahasiswa Magister Managemen Pascasarjana Universitas Lancang Kuning, Riau
Pekanbaru, Petah.id- Hujan deras yang terus mengguyur Riau dalam beberapa pekan terakhir mulai membawa dampak serius. Banjir tidak hanya menggenangi rumah-rumah warga, tetapi juga merendam berbagai fasilitas umum seperti jalan raya, sekolah, hingga tempat ibadah. Kondisi ini memaksa tiga kabupaten di Riau untuk menetapkan status siaga darurat banjir dan tanah longsor.Kepala BPBD Damkar Riau, M. Edy Afrizal, menyampaikan bahwa tiga kabupaten, yakni Rokan Hulu (Rohul), Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hulu (Inhu), telah resmi menetapkan status siaga darurat."Ketiga daerah ini mengalami dampak cukup parah, sehingga status siaga darurat sudah diberlakukan," kata Edy pada Kamis (5/12/2024).Selain tiga kabupaten tersebut, sejumlah wilayah lain seperti Kuantan Singingi (Kuansing), Pelalawan, Rokan Hilir (Rohil), Bengkalis, Dumai, dan Kampar juga mulai terdampak banjir. Meski begitu, status siaga darurat belum diterapkan di daerah-daerah ini.Sebagai langkah antisipasi, BPBD Riau telah menggelar rapat koordinasi dan akan segera melaporkan situasi terkini kepada Penjabat Gubernur Riau untuk menetapkan status siaga darurat tingkat provinsi.“Kami sedang mempersiapkan penetapan status Siaga Darurat Penanggulangan Bencana Hidrometeorologi, yang mencakup banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung,” jelas Edy.Hujan yang terus mengguyur tidak hanya menyebabkan genangan di pemukiman warga, tetapi juga merusak sejumlah infrastruktur, termasuk jembatan, jalan utama, fasilitas pendidikan, hingga kebun milik masyarakat.Edy mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada, karena potensi hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan.Hal serupa disampaikan oleh Pj Gubernur Riau, Rahman Hadi, yang menekankan pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman banjir dan tanah longsor."Kita harus bergerak cepat untuk mitigasi bencana. Jangan sampai masyarakat menjadi korban karena kurangnya antisipasi," tegasnya.Melalui sinergi pemerintah dan masyarakat, diharapkan dampak bencana ini dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga aktivitas dan keamanan warga Riau bisa kembali normal.
Inhil, Petah.id- Personel dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Indragiri Hilir (Inhil) terus melakukan pemantauan lapangan akibat musibah tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).Selain itu, bantuan logistik makanan sudah diberikan. Di antaranya berupa beras, gula, mie instan, sarden. Bantuan awal ini akan terus ditambah sesuai dengan kebutuhan. "Tim di lapangan sudah menyerahkan bantuan logistik kebutuhan pokok. Bantuan awal kita berikan beras gula dan lain-lain," kata Kepala BPBD Inhil, Arliansyah, Kamis (5/12/24). Berdasarkan hasil pendataan sebanyak 12 rumah terdampak akibat musibah longsor tersebut. Dengan rincian bangunan rusak berat tujuh unit dan rusak sedang lima unit. Kemudian longsor yang terjadi pada Rabu (4/12/24) pukul 23.30 WIB itu juga merusak fasilitas umum seperti satu pelabuhan penyeberangan serta jalan umum sepanjang 30 meter. Ada pun yang terdampak akibat longsor sebanyak 13 kepala keluarga (KK). Sementara jika dihitung total jiwa sebanyak 41 orang. Petugas juga sudah mengevakuasi barang-barang milik pemilik rumah yang masih bisa diselamatkan. Terhadap warga pemilik rumah yang mengalami musibah tanah longsor ditempatkan di rumah kerabat dan di rumah masyarakat di sekitar lokasi kejadian. "Mereka (korban longsor) inikan umumnya memiliki kerabat keluarga. Jadi mereka yang terdampak lebih memilih mengungsi ke rumah-rumah keluarga yang tak tekena longsor termasuk harta benda yang masih bisa diselamatkan," ungkap Arliansyah. Atas kejadian ini Arliansyaj juga menyatakan sudah berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya. Mulai dari tingkat kecamatan hingga melaporkan kejadian ini ke tingkat provinsi melalui BPBD Riau.
Inhil, Petah.id - Meningkatnya kasus malaria di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau membuat pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Status KLB malaria di Inhil ditetapkan lewat rapat gabungan yang berlangsung di ruang rapat Kantor Bupati Inhil pada Rabu (02/10/2024) kemarin.Musfardi Rustam, penanggung jawab Malaria dari Dinas Kesehatan Riau, Kamis (3/10/2024) mengatakan bahwa langkah ini diambil sebagai upaya mempercepat penanganan dan pencegahan malaria yang terus meningkat.Rapat tersebut dihadiri berbagai instansi, termasuk Forkopimda Inhil, Dinas Kesehatan Provinsi Riau, RSUD Tembilahan, RSUD Sungai Guntung, serta perwakilan dari Kecamatan Kateman dan Puskesmas Sungai Guntung. "Diharapkan, penetapan status KLB ini mampu memperkuat kolaborasi antar lembaga untuk mempercepat penanggulangan wabah malaria di wilayah tersebut," ujarnya.Musfardi menambahkan dengan penetapan status KLB, semua instansi terkait akan terlibat aktif dalam penanganan penyakit malaria ini. "Upaya bersama ini diharapkan bisa menanggulangi malaria secepat mungkin," ungkap Musfardi. Ia menjelaskan bahwa hingga saat ini, kasus malaria di Kabupaten Inhil mencapai 40 kasus, dengan Desa Kuala Selat di Kecamatan Kateman menjadi wilayah yang paling terdampak.Pemerintah setempat telah memberikan rekomendasi agar warga desa menggiatkan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan dari genangan air yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. Selain itu, langkah pencegahan lainnya seperti sosialisasi, surveilan, dan pengobatan massal terus dilakukan dengan dukungan penuh dari Kementerian Kesehatan.Sementara Kasi Pencegahan Penyakit Menular (P2M) Dinkes Riau, Syarifah Dewi Handayani, menekankan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah penyebaran malaria. "Penyakit malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles, yang senang bersarang di genangan air kotor dan lembab," jelasnya.Ia juga mengimbau warga agar menggunakan obat nyamuk oles dan menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah rawan malaria. "Nyamuk ini biasanya menggigit saat senja hingga malam hari, jadi sangat disarankan untuk tidur menggunakan kelambu atau memakai obat nyamuk," tambahnya.Dengan koordinasi yang lebih baik dan partisipasi aktif dari masyarakat, diharapkan kasus malaria di Kabupaten Inhil dapat segera terkendali dan wabah ini dapat diatasi secara efektif. (Media Center Riau)
Petah.id - Mengaitkan pelaksanaan pemilu dengan masyarakat korban konflik agraria hanya akan menghasilkan sebuah ironi. Bayangkan, pada satu sisi keberadaan mereka terdata oleh Negara sebagai basis suara. Namun disisi lain, eksistensi serta hak atas tanah yang selama ini mereka tempati enggan diakui Negara. Ada banyak contoh dimana masyarakat dianggap 'penduduk illegal' karena menempati kawasan yang secara legalitas merupakan milik perusahaan. Tidak peduli bahwa kawasan tersebut sudah turun temurun mereka huni. Masyarakat bahkan sudah memiliki legalitas berupa administrasi kependudukan. Itulah mengapa ketika penyelenggaran pemilu, mereka terdaftar resmi sebagai pemilih, disediakan TPS, hingga segala macam perangkat pemungutan suara lainnya. Diluar konteks pemilu, oleh Negara, kembali mereka dicap illegal dan melanggar aturan. Miris. November 2024 mendatang, Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) bakal di gelar serentak di seluruh wilayah Indonesia. Perlakuan Negara terhadap masyarakat korban konflik agraria, sebagaimana sudah disinggung barusan, potensial terjadi lagi. Lantas apa yang bisa dilakukan? MENATAP PILKADA Belajar dari cerita Pilkada yang lalu-lalu, masyarakat lokal korban konflik agraria kenyataanya memang cuma jadi penonton. Duduk diam mendengar rayuan dan janji-janji manis para kandidat calon kepala daerah yang berniat mengekspolitasi mereka sebagai lumbung suara. Sebagian kelompok bahkan memilih masuk ke jurang pragmatisme. Menjadi relawan, tim sukses hingga bergabung dalam tim pemenangan calon kepala daerah. Motivasinya sederhana, demi meraup sejumlah rupiah. Pilihan-pilihan semacam itu memang terbuka. Sama terbukanya ketika masyarakat korban konflik agraria beserta organisasi masyarakat sipil yang mendampinginya memilih untuk menyolidkan barisan dan meningkatkan posisi tawar di hadapan para calon kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Pilkada sesungguhnya waktu paling tepat bagi para korban untuk berbalik menuntut keadilan. Sebab hanya dalam momentum ini, para elite bersedia merendahkan diri mereka. Semua sedang berebut simpati demi mengais suara sebesar-besarnya. Atas dasar itu, partisipasi politik para korban konflik agraria wajib disadari sebagai modal yang amat berharga. Samuel P Huntington mendefenisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang dirancang untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tidak jauh berbeda, Miriam Budiardjo mengartikanya sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Berbekal pengertian tadi, partisipasi politik masyarakat korban konflik agraria idealnya diterjemahkan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan mereka. Previlege semacam ini harus dipergunakan dengan selektif. Dalam konteks Pilkada, partisipasi hanya boleh digunakan untuk dan atas nama mendapatkan pemenuhan keadilan dari pemimpin daerah kedepan. Dengan begitu, partisipasi politik para korban tidak lagi sebatas datang ke TPS atau malah ‘nyungsep’ jadi tim sukses. Para korban dituntut berperan aktif sebagai subjek yang berani secara langsung menyuarakan tuntutan pemenuhan hak-hak mereka, seminimalnya untuk 5 tahun mendatang. Dalam situasi ini, masyarakat bukan lagi sekedar ‘penonton’ yang mendengar janji manis kandidat. Tetapi sebaliknya, jika ingin mendulang suara di basis-basis tersebut, para kandidat calon kepala daerah yang harus mendengar tuntutan kepentingan masyarakat. Para akademisi dan kelompok masyarakat sipil yang selama ini konsisten mendampingi kasus-kasus konflik agraria sepatutnya segera merespon hiruk pikuk Pilkada yang makin terasa. Keduanya wajib bekerja ekstra keras, menguatkan konsolidasi di basis-basis massa, sembari mencoba memanfaatkan momentum Pilkada sebagai strategi baru dalam advokasi konflik agraria. Sudah saatnya melahirkan kelompok masyarakat korban yang sadar akan posisi strategisnya sebagai pemilik kedaulatan. Menyusun gerakan kolektif dan memanfaatkan partisipasi politik semata-mata untuk merebut kembali hak mereka atas tanahnya. Gerakan yang solid bakal memberi tekanan signifikan ke para kandidat kepala daerah. Mau tidak mau, suka tidak suka, para kandidat berpeluang mengakomodir tuntutan kepentingan masyarakat. Langkah selanjutnya tinggal bagaimana para korban bersama para pendamping menyusun format perjanjian, model pemenuhan, jangka waktu tuntutan hingga jenis sanksi yang bakal diberikan rakyat apabila terjadi pengingkaran. Apakah ada kemungkinan masyarakat kembali ditipu, sekalipun sudah menjalin kesepakatan dengan kandidat yang nantinya menjabat? Ya, tentu saja ada. Tapi yakinlah, langkah rakyat untuk menuntut pemenuhan hak bakal lebih mudah dan masuk akal. Sebab ada nota perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak. Selain itu, gerakan apabila sudah terbangun solid dan kolektif, penguasa pun bakal 'berhitung' jika melanggarnya.Bila tidak ada kandidat yang berani memenuhi tuntutan para korban? Pilihan untuk tidak berpartisipasi kiranya menjadi langkah paling bijaksana. Untuk apa ikut serta jika hanya dikuras suaranya, lalu kemudian hari diusir paksa dengan cara semena-mena. PENUTUP Penulis tentu menyadari kondisi demokrasi Indonesia, termasuk sistem pemilunya masih jauh dari kata ideal. Terlihat dari para oligarki yang begitu nyaman berbagi kursi sambil terus menebar godaan lewat praktek-praktek buruk seperti money politik dan sejenisnya. Beranjak dari kenyataan ini, mengharap pemilu bakal menghasilkan pemimpin ideal dan bervisi kerakyatan, kesannya bukan cuma naif, tapi juga menyedihkan. Sialnya, tidak ada pilihan lain. Hanya dengan konsisten mengkonsolidasikan massa kita bisa merawat gerakan, mengedukasi publik sembari menanam benih harapan akan munculnya kekuatan yang mampu menggangu faksi-faksi oligarki tersebut. Jika alpa, masyarakat korban konflik agraria bakal terus terjerumus oleh pengkondisian para elite. Apatis, merasa pemilu tidak mengubah apapun sehingga lebih memilih jadi partisan demi mendapat keuntungan sesaat. Jangankan berupaya meningkatkan posisi tawar, masyarakat malah terpolarisasi dan larut dalam kontestasi kepentingan elite politik.Pada akhirnya, Pilkada tidak ubahnya sebuah pabrik yang memproduksi aktor-aktor perampas tanah masyarakat dalam wujud: gubernur, bupati/walikota.Amin Multazam (Pegiat Hak Asasi Manusia, Aktivis Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan)
Kepolisian hingga Februari 2024 telah menghabiskan anggaran sekitar Rp188,9 miliar hanya untuk membeli gas air mata dan perlengkapannya.Petah.id - Aksi #PeringatanDarurat pada 22 Agustus 2024 di sejumlah wilayah menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya terkait penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh Kepolisian. #PeringatanDarurat merupakan aksi yang diinisiasi oleh kelompok warga yang mendesak agar tidak adanya manipulasi aturan oleh pemerintah dan DPR demi melanggengkan politik dinasti Presiden Joko Widodo. Desakan yang dilakukan oleh kelompok warga direspon secara brutal oleh Kepolisian dengan penggunaan gas air mata secara serampangan sehingga menimbulkan korban.Berdasarkan hasil penelusuran melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (lpse.polri.go.id) milik Polri, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendapati 5 (lima) kali belanja yang dilakukan oleh Polri dalam rentang Desember 2023 hingga Februari 2024. Total pajak warga yang digunakan oleh Polri untuk membelanjakan gas air mata senilai Rp188,9 miliar dan tersebar di 2 (dua) satuan kerja, yakni Korbrimob Polri dan Korsabhara Baharkam Polri. Terdapat 3 (tiga) persoalan terhadap pembelian gas air mata oleh Polri selama ini: Pertama, pembangkangan Polri atas kewajiban membuka informasi pengadaan, terutama kontrak pengadaan. Sejak Agustus 2023 lalu, ICW bersama KontraS dan Trend Asia menuntut Polri membuka kontrak pembelian gas air mata dengan mengajukan permohonan informasi. Namun, Polri menolak membuka informasi tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya informasi yang ditutupi oleh Polri. Ketertutupan informasi pengadaan yang telah ditegaskan dalam Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) patut dilihat sebagai indikasi awal adanya pengadaan yang bermasalah, bahkan dapat mengarah pada potensi korupsi.Menyusul ketertutupan Polri, ICW pada Desember 2023 lalu telah mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Hingga hari ini, KIP tidak kunjung memberi kejelasan penyelesaian sengketa informasi yang kami ajukan. Kami menduga bahwa KIP takut untuk memproses sengketa informasi melawan Polri, bukan hanya perihal padatnya agenda penyelesaian sengketa informasi oleh KIP. Sebab, jika merujuk pada PerKI SLIP yang KIP keluarkan, proses sengketa tak akan membutuhkan waktu lama karena informasi yang ICW mohon jelas merupakan informasi publik. Kedua, tidak adanya pertanggungjawaban atas penggunaan gas air mata oleh Polri. Berdasarkan penelusuran ICW, 1 dari 5 paket pengadaan yang dikerjakan, Polri memberikan informasi mengenai jumlah amunisi yang dibeli, yaitu sebanyak 38.216 peluru. Sedangkan pada 4 paket pengadaan lainnya tidak tersedia informasi secara mendetil jumlah peluru yang dibeli oleh Polri. Hal ini menyulitkan bagi publik untuk menagih akuntabilitas di saat proses penggunaan gas air mata dilakukan secara brutal dan serampangan. Apabila tidak ada pertanggungjawaban, maka polisi patut diduga menggunakan gas air mata kedaluwarsa seperti yang terjadi di tragedi Kanjuruhan. Ketiga, pembelian dilakukan di tengah situasi keamanan yang tidak mendesak. Patut diduga bahwa alasan dibalik belanja gas air mata bernilai fantastis tersebut semata berkaitan dengan upaya pembungkaman kritik masyarakat sipil di tengah tahun politik 2024. Padahal, kritik publik yang meninggi adalah konsekuensi logis atas praktik kompetisi politik elektoral yang diwarnai siasat culas. Ini sekaligus menunjukkan dangkalnya strategi pengamanan Polri, yaitu dengan jalan pintas menyakiti publik pembayar pajak yang mempunyai hak bersuara dengan gas air mata. Dengan demikian, belanja gas air mata oleh Polri menambah daftar panjang pemborosan atau ketidaktepatan penggunaan keuangan negara.Indonesian Coruption Watch, Siaran pers 23 Agustus 2024
Inhil, Petah.id - Sempat hilang saat terjatuh dari kapal pada Rabu (21/8/2024) di Perairan Sungai Kateman, Tanjung Pandak, Indragiri Hilir, Dian (26), Seorang Anak Buah Kapal (ABK) Km Bintang berhasil ditemukan pada Kamis (22/8/2024). Korban ditemukan dalam kondisi meninggal. Kepala Basarnas Pekanbaru, Budi Cahyadi mengatakan sekitar pukul 10.45 WIB tim SAR gabungan berhasil menemukan korban pada titik koordinat 0°12'37"N 103°30'45"E. Korban ditemukan dengan jarak 0.76 NM ke arah hilir dari lokasi awal tempat dia terjatuh. “Korban ABK tenggelam di Inhil atas nama Dian ditemukan dalam kondisi meninggal dunia,” jelasnya. Sebelumnya, pihak Basarnas Pekanbaru mendapat kabar bahwa ada seorang ABK yang terjatuh dari Kapal Km Bintang pada hari Rabu (21/8/202) sekitar pukul 05.00 WIB. Ketika itu kapal sedang sandar di Pelabuhan Pancang Tanjung Pandak Kelurahan Pelangiran Kecamatan Pelangiran Kabupaten Inhil. “Korban terjatuh setelah memuat kelapa, namun tidak bisa berenang” katanya. Ia menambahkan, setelah mendapatkan laporan tersebut, pihaknya bersama personil Polsek Pelangiran dengan Kapal Patroli Satpolairud Polres Inhil dan Koramil 10 Pelangiran langsung melakukan pencarian korban. “Dalam upaya pencarian korban juga dibantu dengan masyarakat setempat. Untuk tim SAR dari Basarnas sendiri berjumlah lima orang,” sebutnya. Setelah satu hari lebih, proses pencarian itu akhirnya membuahkan hasil. Korban ditemukan meskipun dalam kondisi tidak bernyawa lagi. Selanjutnya, jasad korban kemudian dievakuasi kerumah duka untuk segera dimakamkan. Dengan ditemukannya korban, maka operasi SAR diusulkan untuk ditutup dan unsur yang terlibat bakal dikembalikan ke instansi masing-masing. “Operasi SAR dinyatakan ditutup dan semua unsur kembali ke kesatuan masing-masing,” pungkasnya.
Petah.id - Dugaan pencatutan KTP warga terjadi dalam pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Sebelumnya pada 19 Juni, pasangan calon ini telah menyerahkan 1.229.777 dukungan dan hanya 447.469 dukungan yang terverifikasi melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Sementara itu, 782.308 sisanya dinyatakan tidak memenuhi syarat. Percobaan selanjutnya pada 25 Juli 2024, calon kandidat menyerahkan 721.221 KTP-el dari jumlah minimal yang dipersyaratkan sebanyak 618.968. Namun dalam proses verifikasi faktual, hanya 183.043 KTP yang dinyatakan memenuhi syarat. Dalam proses verifikasi faktual kedua, dukungan sebanyak 826.766 kepada calon tersebut dinyatakan lolos administrasi dan terdapat 494.467 dukungan yang dinyatakan memenuhi syarat. Jumlah hasil verifikasi faktual pertama sebanyak 183.043 KTP-el ditambah 498.467 KTP el pada verifikasi faktual kedua membuat pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi dukungan minimal. Berdasarkan Surat Keputusan KPU RI No. 532/2024, KPU melakukan verifikasi terhadap dokumen syarat dukungan yang diserahkan dan diinput oleh pasangan melalui SILON (Sistem Informasi Pencalonan). Verifikasi administrasi ini dilakukan dengan mencocokan kebenaran dokumen dukungan masing-masing pendukung yang dilampiri dengan fotokopi KTP-el atau surat keterangan berupa biodata penduduk atau dokumen kependudukan lainnya yang sah dan surat pernyataan identitas pendukung. Proses ini juga berusaha melihat kesesuaian antara nama, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, dan status perkawinan pendukung. Verifikasi administrasi kemudian ditindaklanjuti melalui verifikasi faktual (verfak) yang dilakukan dengan metode sensus. Surat Keputusan KPU No. 532/2024 pelaksanaan verifikasi faktual dengan metode sensus. Dalam proses ini, KPU sebenarnya dapat meminta anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pada saat verifikasi faktual, pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan. Dalam melakukan berbagai proses dan tahapan tersebut, semestinya KPU juga memperhatikan kewajiban pelindungan data pribadi, sebagaimana diatur oleh UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), karena berkaitan dengan pemrosesan data pribadi dari subjek data–warga negara. Berdasarkan situasi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mencatat beberapa hal: Pertama, terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum. Pemrosesan KTP-el yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu (Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP). Untuk meminta persetujuan ini, pasangan calon harus menjelaskan menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, rincian informasi yang dikumpulkan. Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apapun dari subjek data. Bahkan dalam UU PDP, tindakan tersebut merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan Pasal 65 (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak 5 miliar rupiah (Pasal 67 (1) UU PDP). Selain itu, ketentuan Pasal 95 UU Administrasi Kependudukan mengatur larangan tanpa hak mengakses database kependudukan, yang diancam pidana penjara 2 tahun dan denda 25 juta rupiah. Sebagai perbandingan, bentuk pelanggaran seperti di atas, juga terjadi di negara-negara Uni Eropa yang telah secara baik menerapkan hukum pelindungan data pribadi, termasuk memiliki regulasi khusus yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi dalam Pemilu. Di Belgia misalnya, pada 2020, salah satu kandidat dalam Pemilu lokal dikenakan denda sebesar EUR 5.000, oleh otoritas pelindungan data, dikarenakan melakukan pengumpulan data pribadi konstituen secara tidak sah, untuk kepentingan kampanyenya. Pun demikian di Hungaria, pada 2020, salah satu kandidat walikota juga dihukum denda administratif sebesar HUF 100.000 oleh otoritas pelindungan data setempat, dikarenakan dasar hukum yang digunakan untuk memproses data pribadi dinilai tidak memadai. Kedua, terdapat kejanggalan dalam proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU DKI Jakarta terhadap syarat pencalonan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. KPU sebagai pengendali data atas SILON wajib memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi data yang dikelola dalam sistemnya (Pasal 29 UU PDP). Oleh karena itu, banyaknya pencatutan yang diduga dilakukan dalam kandidasi Pilkada serentak mengindikasikan kegagalan KPU sebagai pengendali dalam menjamin akurasi data bahkan setelah disediakan mekanisme verifikasi administrasi hingga verifikasi faktual. Apalagi, verifikasi faktual harusnya memungkinkan suatu mekanisme dimana anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan. Ketiga, KPU belum secara konsisten menerapkan kewajiban kepatuhan terhadap UU PDP, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan Pemilu. Hal ini terlihat dari belum adanya integrasi dan adopsi standar kepatuhan pelindungan data pribadi, dalam kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi, untuk kepentingan pemenuhan persyaratan pencalonan. Selain itu, dalam proses verifikasi semestinya KPU juga memastikan keabsahan perolehan data pribadi yang digunakan sebagai persyaratan, tidak semata-mata mengacu pada keterpenuhan kelengkapannya. Sebagai informasi, praktik seperti ini juga terjadi pada saat proses verifikasi partai partai politik peserta Pemilu 2024, ketika sejumlah NIK dicatut oleh beberapa partai politik sebagai anggotanya. Lebih jauh, situasi ini juga kian memperkuat dugaan kebocoran data pribadi pada lembaga-lembaga, baik publik maupun privat, yang mengumpulkan data kependudukan (KTP-el). Misalnya pada insiden yang terjadi pada KPU sendiri pada tahun 2023, dan dugaan kebocoran data kependudukan yang terjadi pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri. Sayangnya, sampai dengan saat ini, tidak pernah ada investigasi yang tuntas atas dugaan berbagai insiden kebocoran data tersebut. Dengan maraknya pencatutan dokumen kependudukan tersebut, maka menjadi pertanyaan besar darimana pasangan calon memperoleh KTP-el warga secara ilegal untuk digunakan sebagai syarat dokumen yang diserahkan kepada KPU.Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Siaran Pers 16 Agustus 2024
Siak, Petah.id - Sebanyak 17 orang anggota pasukan pengibar bendera merah putih di Kampung Adat Asli Rawa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Siak dikukuhkan oleh penghulu kampung Abok Austinus. Pengukuhan itu merupakan rangkaian memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-79 di Kampung Adat Asli Rawa Penyengat. Disampaikan enghulu kampung Abok Agustinus, semua pasukan pengibar bendera adalah putra putri suku asli anak rawa penyengat yang terdiri dari siswa SMA dan SMP. “Mereka dididik lebih kurang satu setengah bulan bisa mengibarkan bendera merah putih pada hari Sabtu 17 agustus 2024 nanti,” jelas Abok Agustinus. Ia berpesan meskipun berasal dari masyarakat adat, semua elemen harus memiliki semangat cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme. “Meskipun berasal dari masyarakat adat juga harus memiliki semangat cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme dan melanjutkan perjuangan dengan tetap bersekolah dan semangat dalam menuntut ilmu,” tutup Abok Turut hadir dalam acara pengukuha tersebut tokoh adat,tokoh agama,perangkat kampung dan kedua orang tua atau yangg mewakili dari masing masing masing anggota paskibra.
Petah.id – Salah satu momen paling penting dalam gelaran upacara Hari Kemerdekaan adalah menyaksikan para pelajar-pelajar terbaik mengibarkan sangsaka merah putih. Berbaris rapi dengan derap langkah yang harmoni, membuat aksi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) selalu dinanti. Bagaimana sebenarnya sejarah Paskibraka? Dikutip dari laman paskibraka.bpip.go.id, Gagasan Paskibraka lahir pada tahun 1946, pada saat ibu kota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-1, Presiden Soekarno memerintahkan salah satu ajudannya, Mayor (Laut) Husein Mutahar, untuk menyiapkan pengibaran bendera pusaka di halaman Istana Gedung Agung Yogyakarta. Ketika itu, di benak Mutahar terlintas suatu gagasan bahwa sebaiknya pengibaran bendera pusaka dilakukan oleh para pemuda dari seluruh penjuru Tanah Air, karena mereka adalah generasi penerus perjuangan bangsa yang bertugas. Tetapi, karena gagasan tersebut tidak mungkin terlaksana ketika itu, maka Mutahar hanya bisa menghadirkan lima orang pemuda (3 putra dan 2 putri) yang berasal dari berbagai daerah. Lima orang tersebut melambangkan Pancasila. Sejak itu, sampai tahun 1949, pengibaran bendera di Yogyakarta dilaksanakan dengan cara yang sama. Ketika Ibu kota dikembalikan ke Jakarta pada tahun 1950, pengibaran bendera pusaka pada setiap 17 Agustus di Istana Merdeka dilaksanakan oleh Rumah Tangga Kepresidenan sampai tahun 1966. Selama periode itu, para pengibar bendera diambil dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di Jakarta. Pada masa Presiden Soeharto, tahun 1967, Husein Mutahar dipanggil untuk menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Berbekal ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, dia kemudian mengembangkan formasi pengibaran menjadi 3 kelompok yang dinamai sesuai jumlah anggotanya, yaitu: Pasukan 17 /pengiring (pemandu); Pasukan 8 / pembawa bendera (inti); Pasukan 45 /pengawal. Jumlah tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Pada waktu itu, dengan situasi kondisi yang ada, Mutahar hanya melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka. Pasukan pengibar bendera kebanyakan diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi karena mereka bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta. Baru pada tahun 1969, anggota pengibar bendera pusaka adalah para remaja siswa SLTA se-Indonesia yang merupakan utusan dari seluruh provinsi di Indonesia. Istilah yang digunakan dari tahun 1967 sampai dengan tahun 1972 masih "Pasukan Pengerek Bendera Pusaka". Di tahun 1973, Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan Paskibraka. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti PusaKA. Mulai saat itu, anggota pengibar bendera pusaka disebut Paskibraka. Sekarang ini, dengan adanya peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2022 tentang Program Paskibraka, maka pembentukan Paskibraka tidak disiapkan sebatas untuk menaikkan dan menurunkan bendera pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi menjadi suatu program pengkaderan calon pemimpin bangsa yang berkarakter Pancasila. Sistem pembinaan dalam pemusatan pendidikan dan pelatihan terdiri dari pembelajaran aktif ideologi Pancasila dan pemantapan nilai wawasan kebangsaan, pelatihan yang terdiri dari pelatihan kepemimpinan dan pelatihan baris-berbaris, serta pengasuhan untuk membentuk generasi yang tangguh, mandiri, dan berkarakter Pancasila. Dengan demikian, para Paskibraka siap menjadi calon pemimpin bangsa masa depan yang memiliki jiwa nasionalisme dan berjiwa Pancasila.
Halaman 1 dari 4