Petah.id - Ujian berat pers dan jurnalisme beberapa waktu terakhir ini erat terkait dengan perkembangan teknologi informasi digital. Dalam dua dekade terakhir pers mengalami setidaknya dua krisis sekaligus yang saling berkelindan. Pertama, sebagai entitas bisnis, pers semakin kehilangan pasar karena terus merosotnya jumlah pembaca, pendengar atau penonton, dan pada gilirannya kehilangan sumber pendapatan utama dari iklan. Kedua, dalam hal konten berita, pers harus bersaing dengan media sosial yang menawarkan konten aneka rupa, dalam bentuk teks, audio, video, grafis, dan animasi yang bersifat interaktif, dengan penyebaran secara cepat, massif, berskala global, meskipun tidak terjamin akurasi dan kebenarannya. Sejumlah penelitian mengungkapkan, media sosial menjadi pilihan pertama publik untuk mengakses informasi, meskipun informsinya belum tentu kredibel
Perusahaan media konvensional yang tidak lagi mampu bertahan, menyerah kalah. Data Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) mengungkapkan, jumlah perusahaan media cetak anggota SPS cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 2021 jumlah anggota SPS 593 media, kemudian jauh berkurang menjadi 399 media pada tahun 2022.1 Media cetak yang berusaha bertahan umumnya hidup dengan beragam keterbatasan, terpaksa menurunkan standar kinerja, mengurangi jumlah halaman media, tiras pun turun. Kondisi media radio dan televisi tidak jauh berbeda dari media cetak. Sebagian dari media-media konvensional berupaya beradaptasi dengan ekosistem digital, bermigrasi ke media siber, atau melakukan konvergensi antarplatform. Ada yang berhasil, tetapi tak sedikit yang menjumpai kegagalan.
Bisnis media siber yang sekilas memberi harapan ternyata tidak mudah diselami. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan sesama media siber, dalam perebutan pasar dan kue iklan, namun lebih-lebih harus menghadapi dominasi platform global: google, facebook, youtube, dan lainnya. Kondisi kesehatan pers umumnya yang kurang menggembirakan tergambar dari hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers yang diselenggarakan Dewan Pers. Hasil survei dalam beberapa tahun terakhir mengungkapkan ketergantungan cukup besar perusahaan perusahaan pers di daerah pada dana iklan pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan utama. Konsekuensinya, mereka amat rentan terhadap intervensi kekuasaan. Jumlah media siber memang bertumbuh, tetapi tidak banyak yang berkembang menjadi institusi pers yang mandiri dan mampu menyajikan karya jurnalistik berkualitas. Untuk dapat bertahan dan berkembang, secara bisnis, sebagian media siber akhirnya mengikuti logika bisnis platform global yang tidak selalu sejalan dengan kaidah jurnalistik yang mengedepankan kepentingan publik.
Menyikapi kondisi demikian, Dewan Pers sebagai lembaga independen yang mengemban peran berdasarkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers untuk mengembangkan kehidupan pers, tidak berdiam diri. Program dan kegiatan Dewan Pers selama ini telah diorientasikan untuk secara umum mampu menciptakan ekosistem bagi tumbuh kembang pers secara sehat.
Melalui program dan kegiatan pendataan, Dewan Pers mendorong perusahaan-perusahaan pers memenuhi standar sebagai perusahaan pers profesional: sehat secara bisnis dan berkualitas dari sisi karya jurnalistik yang dihasilkan. Dewan Pers beberapa kali menyelenggarakan kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas media, agar mampu mempraktikkan model-model bisnis yang sesuai dengan era digital. Selain itu, Dewan Pers juga memfasiitasi penyelenggaraan Uji Kompetensi Wartawan untuk mendorong peningkatan kemampuan profesionalisme wartawan. Dewan Pers juga beberapa kali menyelenggarakan literasi terkait penegakan etika jurnalistik. Secara khusus, pada tahun politik 2023 ini, Dewan Pers melangsungkan workshop peliputan pemilu secara maraton di sekitar 30 provinsi di Indonesia.
Upaya lainnya yang cukup strategis terkait pengembangan bisnis media dilakukan Dewan Pers bersama Konstituen yaitu pengajuan draf Rancangan Perpres tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Melalui peraturan tersebut nantinya diharapkan perusahaan pers dapat memperoleh kompensasi yang lebih adil atas pemanfaatan konten berita mereka oleh platform global.
Namun, membangun ekosistem media yang sehat tentu tidak dapat dilakukan oleh hanya satu-dua pihak. Dibutuhkan sinergi berbagai pihak: Dewan Pers bersama konstituen, organisasi perusahaan pers, organisasi wartawan, dan stakeholder pers secara umum. Selain itu, dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pers merupakan salah satu unsur penegak demokrasi. Oleh karena itu, terdapat tanggung jawab yang melekat pada Negara untuk menjamin tumbuh kembang pers secara sehat. Hal itu perlu dipantau terus menerus antara lain dalam pembentukan regulasi dan kebijakan yang menguatkan kemerdekaan pers, pemberian insentif perpajakan bagi perusahaan pers, fasilitasi bagi peningkatan kepasitas pers dan wartawan, dan literasi media bagi publik.
Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers 2022-2025)
*Tulisan ini disadur dari Jurnal Dewan Pers Volume 26, Desember 2023