Petah.id - Mengaitkan pelaksanaan pemilu dengan masyarakat korban konflik agraria hanya akan menghasilkan sebuah ironi. Bayangkan, pada satu sisi keberadaan mereka terdata oleh Negara sebagai basis suara. Namun disisi lain, eksistensi serta hak atas tanah yang selama ini mereka tempati enggan diakui Negara.
Ada banyak contoh dimana masyarakat dianggap 'penduduk illegal' karena menempati kawasan yang secara legalitas merupakan milik perusahaan. Tidak peduli bahwa kawasan tersebut sudah turun temurun mereka huni. Masyarakat bahkan sudah memiliki legalitas berupa administrasi kependudukan. Itulah mengapa ketika penyelenggaran pemilu, mereka terdaftar resmi sebagai pemilih, disediakan TPS, hingga segala macam perangkat pemungutan suara lainnya. Diluar konteks pemilu, oleh Negara, kembali mereka dicap illegal dan melanggar aturan. Miris.
November 2024 mendatang, Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) bakal di gelar serentak di seluruh wilayah Indonesia. Perlakuan Negara terhadap masyarakat korban konflik agraria, sebagaimana sudah disinggung barusan, potensial terjadi lagi. Lantas apa yang bisa dilakukan?
MENATAP PILKADA
Belajar dari cerita Pilkada yang lalu-lalu, masyarakat lokal korban konflik agraria kenyataanya memang cuma jadi penonton. Duduk diam mendengar rayuan dan janji-janji manis para kandidat calon kepala daerah yang berniat mengekspolitasi mereka sebagai lumbung suara. Sebagian kelompok bahkan memilih masuk ke jurang pragmatisme. Menjadi relawan, tim sukses hingga bergabung dalam tim pemenangan calon kepala daerah. Motivasinya sederhana, demi meraup sejumlah rupiah.
Pilihan-pilihan semacam itu memang terbuka. Sama terbukanya ketika masyarakat korban konflik agraria beserta organisasi masyarakat sipil yang mendampinginya memilih untuk menyolidkan barisan dan meningkatkan posisi tawar di hadapan para calon kepala daerah di wilayahnya masing-masing.
Pilkada sesungguhnya waktu paling tepat bagi para korban untuk berbalik menuntut keadilan. Sebab hanya dalam momentum ini, para elite bersedia merendahkan diri mereka. Semua sedang berebut simpati demi mengais suara sebesar-besarnya. Atas dasar itu, partisipasi politik para korban konflik agraria wajib disadari sebagai modal yang amat berharga.
Samuel P Huntington mendefenisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang dirancang untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tidak jauh berbeda, Miriam Budiardjo mengartikanya sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik.
Berbekal pengertian tadi, partisipasi politik masyarakat korban konflik agraria idealnya diterjemahkan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan mereka. Previlege semacam ini harus dipergunakan dengan selektif. Dalam konteks Pilkada, partisipasi hanya boleh digunakan untuk dan atas nama mendapatkan pemenuhan keadilan dari pemimpin daerah kedepan. Dengan begitu, partisipasi politik para korban tidak lagi sebatas datang ke TPS atau malah ‘nyungsep’ jadi tim sukses.
Para korban dituntut berperan aktif sebagai subjek yang berani secara langsung menyuarakan tuntutan pemenuhan hak-hak mereka, seminimalnya untuk 5 tahun mendatang. Dalam situasi ini, masyarakat bukan lagi sekedar ‘penonton’ yang mendengar janji manis kandidat. Tetapi sebaliknya, jika ingin mendulang suara di basis-basis tersebut, para kandidat calon kepala daerah yang harus mendengar tuntutan kepentingan masyarakat.
Para akademisi dan kelompok masyarakat sipil yang selama ini konsisten mendampingi kasus-kasus konflik agraria sepatutnya segera merespon hiruk pikuk Pilkada yang makin terasa. Keduanya wajib bekerja ekstra keras, menguatkan konsolidasi di basis-basis massa, sembari mencoba memanfaatkan momentum Pilkada sebagai strategi baru dalam advokasi konflik agraria.
Sudah saatnya melahirkan kelompok masyarakat korban yang sadar akan posisi strategisnya sebagai pemilik kedaulatan. Menyusun gerakan kolektif dan memanfaatkan partisipasi politik semata-mata untuk merebut kembali hak mereka atas tanahnya. Gerakan yang solid bakal memberi tekanan signifikan ke para kandidat kepala daerah.
Mau tidak mau, suka tidak suka, para kandidat berpeluang mengakomodir tuntutan kepentingan masyarakat. Langkah selanjutnya tinggal bagaimana para korban bersama para pendamping menyusun format perjanjian, model pemenuhan, jangka waktu tuntutan hingga jenis sanksi yang bakal diberikan rakyat apabila terjadi pengingkaran.
Apakah ada kemungkinan masyarakat kembali ditipu, sekalipun sudah menjalin kesepakatan dengan kandidat yang nantinya menjabat? Ya, tentu saja ada. Tapi yakinlah, langkah rakyat untuk menuntut pemenuhan hak bakal lebih mudah dan masuk akal. Sebab ada nota perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak. Selain itu, gerakan apabila sudah terbangun solid dan kolektif, penguasa pun bakal 'berhitung' jika melanggarnya.
Bila tidak ada kandidat yang berani memenuhi tuntutan para korban? Pilihan untuk tidak berpartisipasi kiranya menjadi langkah paling bijaksana. Untuk apa ikut serta jika hanya dikuras suaranya, lalu kemudian hari diusir paksa dengan cara semena-mena.
PENUTUP
Penulis tentu menyadari kondisi demokrasi Indonesia, termasuk sistem pemilunya masih jauh dari kata ideal. Terlihat dari para oligarki yang begitu nyaman berbagi kursi sambil terus menebar godaan lewat praktek-praktek buruk seperti money politik dan sejenisnya. Beranjak dari kenyataan ini, mengharap pemilu bakal menghasilkan pemimpin ideal dan bervisi kerakyatan, kesannya bukan cuma naif, tapi juga menyedihkan.
Sialnya, tidak ada pilihan lain. Hanya dengan konsisten mengkonsolidasikan massa kita bisa merawat gerakan, mengedukasi publik sembari menanam benih harapan akan munculnya kekuatan yang mampu menggangu faksi-faksi oligarki tersebut.
Pada akhirnya, Pilkada tidak ubahnya sebuah pabrik yang memproduksi aktor-aktor perampas tanah masyarakat dalam wujud: gubernur, bupati/walikota.
Amin Multazam (Pegiat Hak Asasi Manusia, Aktivis Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan)