Siak, Petah.id - Sebanyak 17 orang anggota pasukan pengibar bendera merah putih di Kampung Adat Asli Rawa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Siak dikukuhkan oleh penghulu kampung Abok Austinus. Pengukuhan itu merupakan rangkaian memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-79 di Kampung Adat Asli Rawa Penyengat. Disampaikan enghulu kampung Abok Agustinus, semua pasukan pengibar bendera adalah putra putri suku asli anak rawa penyengat yang terdiri dari siswa SMA dan SMP. “Mereka dididik lebih kurang satu setengah bulan bisa mengibarkan bendera merah putih pada hari Sabtu 17 agustus 2024 nanti,” jelas Abok Agustinus. Ia berpesan meskipun berasal dari masyarakat adat, semua elemen harus memiliki semangat cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme. “Meskipun berasal dari masyarakat adat juga harus memiliki semangat cinta tanah air dan berjiwa nasionalisme dan melanjutkan perjuangan dengan tetap bersekolah dan semangat dalam menuntut ilmu,” tutup Abok Turut hadir dalam acara pengukuha tersebut tokoh adat,tokoh agama,perangkat kampung dan kedua orang tua atau yangg mewakili dari masing masing masing anggota paskibra.
Petah.id – Salah satu momen paling penting dalam gelaran upacara Hari Kemerdekaan adalah menyaksikan para pelajar-pelajar terbaik mengibarkan sangsaka merah putih. Berbaris rapi dengan derap langkah yang harmoni, membuat aksi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) selalu dinanti. Bagaimana sebenarnya sejarah Paskibraka? Dikutip dari laman paskibraka.bpip.go.id, Gagasan Paskibraka lahir pada tahun 1946, pada saat ibu kota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-1, Presiden Soekarno memerintahkan salah satu ajudannya, Mayor (Laut) Husein Mutahar, untuk menyiapkan pengibaran bendera pusaka di halaman Istana Gedung Agung Yogyakarta. Ketika itu, di benak Mutahar terlintas suatu gagasan bahwa sebaiknya pengibaran bendera pusaka dilakukan oleh para pemuda dari seluruh penjuru Tanah Air, karena mereka adalah generasi penerus perjuangan bangsa yang bertugas. Tetapi, karena gagasan tersebut tidak mungkin terlaksana ketika itu, maka Mutahar hanya bisa menghadirkan lima orang pemuda (3 putra dan 2 putri) yang berasal dari berbagai daerah. Lima orang tersebut melambangkan Pancasila. Sejak itu, sampai tahun 1949, pengibaran bendera di Yogyakarta dilaksanakan dengan cara yang sama. Ketika Ibu kota dikembalikan ke Jakarta pada tahun 1950, pengibaran bendera pusaka pada setiap 17 Agustus di Istana Merdeka dilaksanakan oleh Rumah Tangga Kepresidenan sampai tahun 1966. Selama periode itu, para pengibar bendera diambil dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di Jakarta. Pada masa Presiden Soeharto, tahun 1967, Husein Mutahar dipanggil untuk menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Berbekal ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, dia kemudian mengembangkan formasi pengibaran menjadi 3 kelompok yang dinamai sesuai jumlah anggotanya, yaitu: Pasukan 17 /pengiring (pemandu); Pasukan 8 / pembawa bendera (inti); Pasukan 45 /pengawal. Jumlah tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Pada waktu itu, dengan situasi kondisi yang ada, Mutahar hanya melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka. Pasukan pengibar bendera kebanyakan diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi karena mereka bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta. Baru pada tahun 1969, anggota pengibar bendera pusaka adalah para remaja siswa SLTA se-Indonesia yang merupakan utusan dari seluruh provinsi di Indonesia. Istilah yang digunakan dari tahun 1967 sampai dengan tahun 1972 masih "Pasukan Pengerek Bendera Pusaka". Di tahun 1973, Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan Paskibraka. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti PusaKA. Mulai saat itu, anggota pengibar bendera pusaka disebut Paskibraka. Sekarang ini, dengan adanya peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2022 tentang Program Paskibraka, maka pembentukan Paskibraka tidak disiapkan sebatas untuk menaikkan dan menurunkan bendera pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi menjadi suatu program pengkaderan calon pemimpin bangsa yang berkarakter Pancasila. Sistem pembinaan dalam pemusatan pendidikan dan pelatihan terdiri dari pembelajaran aktif ideologi Pancasila dan pemantapan nilai wawasan kebangsaan, pelatihan yang terdiri dari pelatihan kepemimpinan dan pelatihan baris-berbaris, serta pengasuhan untuk membentuk generasi yang tangguh, mandiri, dan berkarakter Pancasila. Dengan demikian, para Paskibraka siap menjadi calon pemimpin bangsa masa depan yang memiliki jiwa nasionalisme dan berjiwa Pancasila.
Petah.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo terkait ‘bau kolonial’ di istana negara menuai ragam reaksi publik. Pernyataan tersebut beliau sampaikan ketika memberikan pengarahan kepada kepala daerah seluruh Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurut presiden, dua istana negara di Jakarta sangat kental dengan bau kolonialisme karena merupakan warisan Belanda. "Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi, Belanda, bekas gubernur jenderal Belanda. Dan sudah kita tempati 79 tahun, ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari dibayang-bayangi," ucap Jokowi sebagaimana dikutip melalui siaran YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/8/2024).Lantas, bagaimana sebenaranya sejarah istana kepresidenan di Jakarta? Mari kenal lebih jauh.Istana Presiden Indonesia merupakan kediaman resmi presiden dan tempat berlangsungnya berbagai kegiatan kenegaraan. Saat ini, terdapat enam Istana Kepresidenan yang tersebar di Indonesia. Dua diantaranya terdapat di Ibukota Jakarta, yakni Istana Merdeka dan Istana Negara. Istana Merdeka terletak di Jalan Merdeka Utara dan menghadap ke Taman Monumen Nasional. Pembangunan istana ini diarsiteki oleh Drossares dan dilaksanakan ketika masa pemerintahan Gubernur Jenderal James Loudon pada tahun 1873. Pembangunan baru rampung tahun 1879 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge. Istana ini dulu dikenal dengan nama Istana Gambir.Dilansir dari laman Kementerian Sekretariat Negara, hingga kini, sebanyak 20 orang telah mendiami Istana Merdeka: 15 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 3 Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara XVI Jepang di Jawa), dan 2 Presiden RI. Namun dari 15 Gubernur Jenderal Belanda itu, hanya 4 orang yang benar-benar tinggal; yang lainnya memilih Istana Bogor. Presiden RI yang betul-betul tinggal adalah Presiden pertama Soekarno, Presiden keempat Abdurrahman Wahid, dan Presiden ketujuh Joko Widodo sebelum kemudian bertempat tinggal di Istana Bogor.Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, istana ini menjadi saksi penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Republik Indonesia Serikat diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Kerajaan Belanda diwakili oleh A.H.J. Lovink, Wakil Tinggi Mahkota di Indonesia.Sedangkan Istana Negara, merupakan Istana Kepresidenan Indonesia yang terletak di Jalan Veteran dan menghadap ke Sungai Ciliwung. Istana ini membelakangi Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional dan dihubungkan oleh Halaman Tengah.Istana Negara pada awalnya merupakan kediaman pribadi seorang warga negara Belanda yang bernama J.A. van Braam. Ia mulai membangun kediamannya pada tahun 1796, (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten) sampai dengan tahun 1804 (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg). Namun, pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda. Oleh karena itu pula, istana ini dijuluki “Hotel Gubernur Jenderal”.Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara diantaranya tatkala Jenderal de Kock menguraikan rencananya untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Demikian pula halnya tatkala Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Terlepas dari pengakuan Presiden Joko Widodo yang dibayang-bayangi bau kolonial selama mendiami istana peninggalan pemerintah Hindia Belanda, keduanya menyimpan cerita penting dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah tumbuhnya Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Pekanbaru, Petah.id – Dinas Perkebunan Provinsi Riau bersama tim telah melaksanakan rapat penetapan harga kelapa sawit mitra plasma periode 14 – 20 Agustus 2024. Penetapan ini menggunakan tabel rendemen harga baru hasil kajian dari PPKS Medan yang disepakati oleh Tim. Dilansir dari Media Center Riau, Kepala Dinas Perkebunan Riau Syahrial Abdi mengatakan, untuk kenaikan harga tertinggi berada dikelompok umur 9 tahun sebesar Rp 5,36/Kg atau mencapai 0,17% dari harga minggu lalu. Sehingga harga pembelian TBS petani untuk periode satu minggu kedepan naik menjadi Rp 3.120,44/Kg. “Dengan harga cangkang berlaku untuk satu bulan kedepan dengan harga sebesar Rp 19,03/Kg. Pada periode ini indeks K yang dipakai adalah indeks K untuk 1 bulan kedepan yaitu 91,96%, harga penjualan CPO minggu ini turun sebesar Rp 13,09 dan kernel minggu ini naik sebesar Rp 172,71 dari minggu lalu,” katanya. Ada beberapa PKS yang tidak melakukan penjualan, berdasarkan permentan nomor 01 tahun 2018 pasal 8 maka harga CPO dan kernel yang digunakan adalah harga rata-rata tim, apabila terkena validasi 2 maka digunakan harga rata-rata KPBN. Harga rata-rata CPO KPBN periode ini adalah Rp 13.082,00 dan harga rata-rata kernel KPBN periode ini Rp 9.111,00. Syahrial Abdi menambahkan, Kenaikan harga minggu ini lebih disebabkan karena faktor naiknya harga Kernel. Pihaknya bersama tim juga berkomitmen agar selalu melakukan perbaikan tata Kelola agar penetapan harga ini sesuai dengan regulasi dan berkeadilan untuk kedua belah pihak yang bermitra. “Membaiknya tata kelola penetapan harga ini merupakan upaya yang serius dari seluruh stakeholder yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau. Komitmen bersama ini pada akhirnya tentu akan berimbas pada peningkatan pendapatan petani yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat,” jelasnya. Berikut penetapan harga TBS kelapa sawit kemitraan plasma di Provinsi Riau No. 29 periode 14 – 20 Agustus 2024:Umur 3 Th ( Rp 2.393,97);Umur 4 Th (Rp 2.724,15);Umur 5 Th (Rp 2.890,34);Umur 6 Th (Rp 3.017,83);Umur 7 Th (Rp 3.081,60);Umur 8 Th (Rp 3.118,15);Umur 9 Th (Rp 3.120,44);Umur 10- 20 Th (Rp 3.102,60);Umur 21 Th (Rp 3.052,28);Umur 22 Th (Rp 3.003,65);Umur 23 Th (Rp 2.952,14);Umur 24 Th (Rp 2.895,47);Umur 25 Th (Rp 2.831,98);